Selasa, 02 Agustus 2011

Bab 7 : Dr. Dicky Subarda Mars : Bapak Adalah The Goodfather


Masalah ini seharusnya sangat simple saja. Fakta bahwa kasus ini terkatung-katung dari tahun 1997 sampai 2007, lebih dari 10 tahun, karena lebih banyak unsur politisnya. Kalau dilihat dari bukti-bukti yang Bapak serahkan pada waktu pemeriksaan dulu (1997-2000), kami heran mengapa bukti-bukti itu tidak menyelesaikan masalahnya?
Dari bukti-bukti yang sudah diserahkan itu sudah sangat jelas rekening diambil oleh siapa, siapa yang menyerahkan, dan siapa yang menerima. Siapa-siapanya sudah jelas dan gampang sekali ditelusuri. Bank BNI pun sebetulnya sudah ada aturannya. Kalaupun bank mencairkan uang harus dengan persetujuan Dirut Asabri. Bapak tidak pernah memberikan persetujuan, tapi uangnya bisa diambil Henry Leo. Seharusnya ada cek and recek, seharusnya ada kehati-hatian bank. Itu saja satu masalah: siapa yang menyerahkan, siapa yang mengambil?
            Yang kedua, Bapak memasukan uang itu ke bank pemerintah yang sudah dipercaya, bukan ke bank swasta yang tidak jelas. Bank BNI adalah bank pemerintah yang betul-betul kredibel. Bapak sudah faham memasukan uang deposito Asabri ini ke bank yang jelas, yang dituju jelas, bukti yang di check juga sudah jelas. Sebetulnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi, karena semuanya sangat jelas.
Kenapa sampai sepuluh tahun tidak selesai-selesai? Seharusnya jelas begitu dalam pemeriksaan di Mabes Polri tahun 1997? Siapa tersangka sampai terdakwa sebetulnya sudah bisa ditentukan pada saat itu. Tapi, Bapak diperiksa di Mabes Polri, sedangkan Henry Leo diinapkan di Dephankam. Itu suatu perbedaan yang tidak ada keadilannya. Diskriminatif. Tidak ada keadilan yang diberikan pada waktu itu.
Bapak dinyatakan tidak bersalah oleh Mabes Polri setelah diperiksa habis-habisan. Oleh karena tidak cukup bukti, Mabes Polri mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penyidikan (SKPP). Sementara Henry Leo mendapatkan SKPP bukan dari hasil pemeriksaan polisi, melainkan atas surat permintaan dari Dephankam kepada Mabes Polri. Ini lagi-lagi ada pembedaan dan keanehan.
Saya dan keluarga dari awal munculnya kasus ini sudah shock. Keluarga kaget. Tidak ada pemikiran atau hal-hal yang sangat tidak diharapkan terjadi sama Bapak. Yang saya tahu dari bapak, mulai perwira pertama sampai jadi jenderal, itu selalu dicintai bukan hanya oleh keluarga melainkan juga anak buah dan teman-temannya.
Anak buah itu kalau Bapak pindah jabatan atau pindah kantor banyak yang menangis. Mereka mengatakan, kok kami ditinggal. Selama ini Bapak begitu berjasa sama anggota, perhatiannya baik banget sama anggota. Semua pasti sangat kehilangan  kalau bapak pindah atau mutasi jabatan. Sampai kejadian waktu diperiksa polisi itu, keluarga sangat tidak percaya. Apa betul? Kami sangat shock. Kok tiba-tiba seperti itu. Tidak pernah tersirat kejadiannya bapak dianggap koruptor.
Di mata keluarga, Bapak itu lebih baik lagi. Bapak selalu mengajarkan mendingan kita tidak punya dibanding kita macam-macam ada tapi hasil korupsi. Sama sekali Bapak tidak mau memakan uang haram dan menghidupi keluarganya dari uang tidak halal.
Bapak memang pemurah. Ke anak buah itu kayaknya kok ngasih terus. Kadang-kadang ke keluarga begini-begini saja, tapi kok anak buah kalau ada yang datang minta tolong selalu ditolong. Tidak pernah ditolak. Dari awal selalu begitu. Anak-anak tak pernah dimanjakan. Kami tidak pernah dikasih mobil satu-satu. Kami hidup seadanya, tak pernah berlebihan. Rumah pun tidak berlebihan. Tidak pernah anak-anak ini dimanja, dikasih segala macam. Tidak ada itu dari Bapak
            Nah, dari awal kami ragu apa betul kok berani banget. Bapak dituduh korupsi sampai Rp400 miliar. Wah, bener-bener tak kebayang uang sebanyak itu. Coba dikasih buat keluarga, satu miliar saja masing-masing punya mobil anak-anaknya. Ini kok uang segitu dikorupsi buat apa? Nggak mengerti mau dipakai apa uang sebanyak itu?
Saya bicara dan bertanya. Bapak jelaskan sedikit-sedikit masalahnya. Bapak bilang ini tidak ada korupsinya. Bapak ini hanya memasukan uang ke bank, tapi tanpa sepengetahuan Bapak uang itu diselewengkan dan bapak harus bertanggung jawab. Terus saya tanya uangnya dimana? Bapak bilang: ya, di bank sana. Bapak tidak terima uang itu, tidak ada sepeserpun yang Bapak ambil. Kami agak tenang karena tahu Bapak tidak korupsi.
Bapak juga kumpulkan bukti-bukti. Sampai diperiksa polisi, Bapak juga sebetulnya bingung. Kami carilah bukti-buktinya. Seiring dengan berjalannya waktu,  banyak anak buah yang memberikan bukti-bukti. Kita bundel bukti-buktinya dan dengan bukti-bukti itu bapak dibebaskan dari pemeriksaan. Bapak tidak bersalah.
            Bapak bukan koruptor seperti yang dituduhkan. Bapak tidak mungkin mengkhianati prajurit. Waktu saya kecil, Bapak selalu cerita, bahwa uang gajinya sebagai prajurit satu bulannya hanya cukup untuk membelikan susu saya satu kaleng. Untuk itu Bapak usaha segala macam, jadi tukang foto, muter film, dan macam-macam pekerjaan lain yang halal. Jadi, Bapak tahu bagaimana perihnya jadi tentara itu. Maka hal-hal yang mustahil atau tidak mungkin kalau Bapak itu mengambil uang dari tentara.
Menilap uang prajurit adalah hal yang sangat tidak mungkin. Kalaupun Bapak mengurusi uang prajurit, itu betul-betul membantu prajurit. Terbukti Asabri sehat sekali. Kalau memang Bapak korupsi, misalnya, Badan Pengawas Asabri yang seharusnya  melaporkan, bukan perseorangan yang langsung ke Menhankam Edi Sudrajat.
Bukankah ada BPKP, ada komisaris, ada Badan Pengawas, dan Dephankam sebagai atasannya? Mengapa atasan diam-diam saja? Kalau memang Bapak korupsi, harusnya mereka bertanggung jawab. Korupsi itu tidak bisa dilaksanakan satu orang,   semuanya harus bertanggung jawab kalau memang Bapak koruptor.
 Keluarga ingin kasus ini tuntas selesai. Maksud selesai disini bukan dipeti eskan. Kami ingin ada sebuah keputusan apapun bentuknya yang menyatakan kasus ini selesai. Kami berharap apa yang dicap koruptor itu tidak terbukti. Semua bukti-bukti sudah diberikan dan kami yakin bahwa Bapak terlepas dari kasus ini dengan bukti-bukti itu.
Selama ini kami juga tertekan Selalu tertekan karena kasusnya berlarut-larut. Mungkin dalam beberapa bulan kasusnya hilang, nanti tiba-tiba muncul lagi di media. Koran atau majalah memberitakan lagi kasus Asabri, dan selalu terpampang disitu Direktur Asabri Subarda, bukan foto yang lain.
Kami was-was lagi. Aduh, apalagi. Nanti Bapak diperiksa lagi. Setelah diperiksa bulak-balik hilang lagi kasusnya. Kemudian di blow-up lagi, kemudian ada lagi keluar di koran mana, tanpa ada suatu penyelesaian apapun.
Dari segi Bapak pun sangat-sangat tertekan. Sudah tenang-tenang, nanti keluar lagi. Tapi begitulah yang terjadi. Bapak sangat gusar membayangkan cucu-cucunya yang masih kecil tidak begitu mengerti dan bertanya apa betul kakeknya korupsi seperti diberitakan koran?
 Bapak betul betul sangat sangat terpukul. Kami juga menjelaskannya agak sulit, karena kasusnya sudah 10 tahun. Tidak selesai-selesai kasus ini betul-betul mengganjal. Ini membuat kami sangat-sangat tertekan.
            Memang ketika kasus ini dulu muncul, kami sekeluarga seakan-akan menutup diri karena malu. Awalnya kami tidak mau berhubungan dengan wartawan dan pers. Kami pikir waktu itu, sudah biar diselesaikan secara hukum.  Tapi karena ini persolan persepsi yang selalu muncul berulang-ulang, di blow up, akhirnya mau tidak mau kami harus meng counter. Malah sekarang-sekarang ini kami berani dimanapun. Ada yang memblow up, langsung kita counter. Di  majalah, di Koran, di radio, kita counter. Karena sekarang ini perang persepsi. Soal hukum sudah selesai di polisi. Bapak tidak terbukti korupsi. Tinggal soal persepsi.
Seharusnya kalau memang sudah dinyatakan secara hukum tidak terbukti dan misalnya dalam berapa tahun tidak ada bukti baru, harusnya kadaluarsa dan direhabilitasi. Ini kan digantung terus. Kalau digantung terus, sampai kapan?
            Bagi keluarga, Bapak tetap idola. Jadi, kalau di film Bapak ini kami anggap good father atau bapak yang baik 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar