Selasa, 02 Agustus 2011

Bab 6 : Korban Prasangka


            Segala sesuatu ada hikmahnya. Itulah keyakinan Subarda.
Jika riwayat hidupnya ibarat buku, maka sudah memasuki bab-bab terakhir. Sudah hampir tamat. Usianya sudah 67 tahun pada 2007 ini. Ia bersyukur Tuhan memberinya panjang umur. Melebihi Nabi Muhammad SAW yang wafat pada usia 63 tahun. Melampau rata-rata tingkat harapan hidup orang Indonesia yang 65 tahun.
            Ia juga bersyukur bahwa di usianya yang mulai senja itu tetap bugar. Kesehatannya relatif baik. Tidak ada penyakit yang berat seperti jantung, lever atau  diabetis, yang sering dialami teman-teman seusianya. Paling-paling keluhan flu dan batuk biasa. Namun, ia selalu siaga sebagaimana ajaran agama yang diyakininya. Islam mengajarkan bahwa ajal bisa datang kapan saja. Setiap saat maut bisa menjemput. Siap atau tidak siap.
Justeru karena sadar hidupnya sudah memasuki episode akhir, ia ingin mati dalam kondisi khusnul khotimah.  Wafat dalam keadaan yang baik. Happy ending.
Kasus Henry Leo yang melibatkan dirinya seperti ganjalan. Polisi sudah menyatakannya tidak bersalah pada tahun 2004. Ia bersih dan tidak terbukti korupsi seperti dituangkan dalam SKPP Mabes Polri. Sedangkan orang yang pernah menuduhnya, orang-orang yang melaporkannya ke polisi, kini sudah menanggung akibat dari fitnah yang pernah dilakukannya.
Ada yang diperiksa polisi dengan tuduhan korupsi. Ada yang diperiksa aparat karena menipu prajurit. Ada yang dipukuli orang. Ada pula yang stroke atau sakit berkepanjangan. Tapi, Subarda sendiri, Alhamdullillah, baik-baik saja.
Meskipun secara fisik tidak berpengaruh, hati Subarda remuk redam. Ia masih belum terbebas dari stigma koruptor, padahal secara hukum dan faktanya, dia bukanlah koruptor. Tapi the damage has been done, kehancuran telah terjadi. Ia telah dibunuh secara perdata. Pihak-pihak tertentu telah melakukan character assassination terhadap lelaki halus dan santun itu.
Dan itu tidak pernah berhenti. Seakan tidak senang melihat Subarda hidup tenang menikmati masa tuanya. Tuduhan demi tuduhan datang dan datang lagi. Terakhir tuduhan datang dari Puspom TNI bulan Agustus 2006. Entah siapa lagi yang melaporkan dan menuduhnya.  
Tapi, lagi-lagi semua tuduhan itu tidak terbukti. Pemeriksaan Puspom mentok, karena memang Subarda bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Dokumen-dokumen yang dimilikinya, yang dikira pihak lain sudah raib, sekali lagi membebaskannya dari segala tuduhan.
Kejahatan Henry Leo yang membuatnya tersangkut hukum itu menjadi pelajaran berharga. ''Saya menjadi merasa sangat yakin bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha Tahu terhadap segala perbuatan yang telah dilakukan hambanya,'' kata Subarda.
Jika kepada Tuhan ia bisa mempertanggungjawab segala sesuatunya, namun tidak mudah kepada manusia. Manusia penuh dengan persepsi. Penuh prasangka. Jika sudah ada prasangka, kebenaran apapun sulit diterima. Apa saja yang dikatakan Subarda, pasti dianggap sebagai pembelaan diri.
Di alam pikiran orang yang sudah dipenuhi prasangka sudah terpatri bahwa Subarda adalah garong. Meski polisi sudah mengeluarkan SKPP, Subarda tetap saja dicap sebagai koruptor! Sulit sekali mengubah keyakinan orang-orang yang dibelenggu prasangka.

Melarang prasangka
Untuk itulah, Subarda memahami betul mengapa Allah SWT melarang manusia untuk berprasangka buruk. Pikiran negatif sangat membahayakan karena menjauhkan dari keterbukaan untuk menerima kebenaran.
            Dalam surat Al Hujarat ayat 12, Allah SWT wanti-wanti mengingatkan manusia untuk menjauhi prasangka. Sesungguhnya prasangka itu adalah dosa. Bahkan, Allah membenci orang yang suka berprasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain. Perbuatan itu dianggap sebagai sangat menjijikan.
            “Janganlah kamu berprasangka buruk sama orang lain, sesungguhnya berprasangka itu adalah sama dengan kamu memakan daging orang yang sudah mati,” begitu tertulis dalam Al Quran.
Guru mengaji Subarda pernah menceritakan riwayat turunnya firman Allah tersebut dengan cerita Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika Rasullulah pernah ditanya oleh seorang sahabat: “Ya, Rasullulah apa dosa prasangka itu? Apa pula akibat dari prasangka itu?”
Nabi menjawab: “Kalau kamu berprasangka jelek kepada orang lain, maka pahala kamu dipindahkan kepada orang yang jadi sasaran prasangkamu. Sebaliknya kalau pahala kamu habis, maka dosa orang itu yang dipindahkan ke kamu”.
Surat Al Hujarat dan riwayat Nabi Muhammad SAW itu yang menguatkan hati Subarda. Makin sering ia menjadi sasaran prasangka, makin dekatlah ia berserah diri kepada Tuhan. Di dunia sendiri pun, tidak perlu di akhirat, Allah sudah membuktikan bahwa orang-orang yang berprasangka kepadanya sudah mendapat hukuman. Ternyata mereka tidak lebih baik dari Subarda. Pihak-pihak yang menuduhnya koruptor, ternyata berususan dengan aparat hukum karena korupsi. Seperti maling teriak maling.
Firman Allah dalam surat Al Hujarat ayat 11 menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain. Boleh jadi mereka yang diolok-olokkan lebih baik dari mereka yang mengolok-olokkan”.
Ayat 11 itu ditutup dengan ajakan Allah agar orang seperti itu bertobat. “Barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim,” kata Allah. Bagi orang yang dzalim, sudah barang tentu, neraka jahanamlah tempatnya kembali.
Subarda tidak mau tergolong orang-orang dzalim yang dijamin Allah sebagai “ahli neraka”. Makanya, ia selalu berprasangka baik. Orang yang berbaik sangka, seperti riwayat hadis Nabi berikut ini, dijamin Allah sebagai “ahli surga”.
Dalam pertemuan dengan para sahabat, Rasulullah SAW berkata, “Sebentar lagi akan masuk seorang laki laki ke dalam majelis kita dan laki-laki itu salah satu penghuni surga”. Besoknya, Rasulullah SAW berkata seperti itu lagi, “Sebentar lagi ke ruangan kita ini akan datang seorang laki-laki dan dia itu akan masuk surga”.
Setelah majelis bubar, ada anak muda yang berkunjung ke rumah laki-laki yang diceritakan Nabi sebagai “ahli surga” itu.
“Hai hamba Allah,” kata si anak muda itu, “bolehkan aku menginap di rumahmu, karena aku bertengkar dengan ayahku. Aku lagi minggat, kiranya bolehkah menginap di rumah ini?”.
Si laki-laki “ahli surga” itu membolehkan si anak muda menginap. Tidurlah dia  sampai tiga hari dan tiap malam dia perhatikan dan selidiki mengapa Rasulullah bercerita jika orang ini masuk surga. Ternyata sampai tiga malam, ibadahnya tidak ada istimewanya. Setiap malam shalat tahajud dan setiap sahabat juga melakukan hal yang sama. Begitu tiga hari selesai, anak muda itu bercerita kepada tuan rumah.
“Aku sesungguhnya tidak bertengkar dengan ayahku, tapi aku mendengar Rasulullah berkata sebelum engkau masuk masjid. Tiga kali berturut-turut Rasullulah mengatakan engkau itu salah satu penghuni surga. Apa yang menjadi resepmu sampai disebut Rasulullah sebagai ahli surga?” tanya si anak muda.
Hanya satu jawaban orang itu: “Saya tidak pernah berprasangka”.
“Hanya itu?” si anak muda bertanya lagi.
“Ya, hanya itu,” jawab si laki-laki itu.
Demikianlah, ternyata “tidak berprasangka” yang membuat laki-laki itu ditempatkan dan diistimewakan oleh Rasulullah. Ternyata sikap “tidak berprasangka” begitu mulia disisi Allah dan itulah yang membuat laki-laki itu masuk surga.
Subarda berdoa. Mudah-mudahan ia termasuk golongan “ahli surga” seperti laki-laki sahabat Rasulullah itu. Dengan beragam pengalaman hidup yang pernah dilalui selama ini, Subarda punya satu "hukum" yang pantang dilanggarnya, yaitu selalu mendekatkan diri pada Allah.
''Allah itu adalah segala-galanya. Kepadanyalah saya mengadu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Tahu apa yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan hambaNya. Dan dia adalah hakim yang maha adil,” demikian Subarda bersimpuh.

Kebenaran yang pahit
            Ia juga menjadi sangat memahami mengapa Allah SWT meminta manusia untuk tidak sembarangan bicara. Jika apa yang dikatakan tidak memberikan konstribusi terhadap kebaikan, Allah menganjurkan diam. Dalam kaitan ini pula Subarda membenarkan kearifan peribahasa  yang mengatakan “Diam itu emas” dan “Mulutmu adalah harimaumu”.
Sebaliknya, Subarda juga mahfum betul jika Allah malah memerintahkan manusia untuk mengatakan apa yang benar meskipun itu pahit rasanya. Apa yang ia sampaikan belakangan ini secara terbuka dan berani kepada pers, kepada anggota DPR, kepada Presiden dan dalam buku ini, adalah dalam kaitan dengan menyampaikan kebenaran yang getir itu. Allah sendiri dalam surat An Nur ayat 16 menekankan perlunya membantah berita bohong yang tidak berdasar.
Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu, ‘Tidak pantas bagi kamu memperkataan ini…Ini adalah dusta yang besar!”
            Pengalaman hidup Subarda mengajarkan bahwa orang bisa saja mengatakan sesuatu yang dia sebetulnya tidak ketahui. Banyak sekali orang yang bicara keras dan lantang, tapi tidak tahu apa-apa, dan cenderung mencari popularitas atau agar naik jabatan. Itu berakibat besar kepada target orangnya maupun kepada keluarganya.
            Keluarga Subarda sudah merasakan betapa “fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Secara perdata dan citra, maka diri dan keluarganya sudah terbunuh oleh fitnah dan berita bohong yang disampaikan orang-orang untuk bermacam kepentingan. Inilah yang secara populer disebut pembunuhan karakter atau character assassination.
            Sebagaimana diceritakan dalam surat An Nur ayat 11, “sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga”.  Kalimat selanjutnya adalah “tiap-tiap orang dari pembohong itu mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya”. Ayat itu ditutup dengan janji Allah yang akan menghukum dengan azab besar bagi “mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu”. Jadi, azab besar disiapkan Allah bagi dalang penyebar kebohongan dan kebencian.
            Subarda yakin para penuding, penyebar kabar bohong, dan yang memfitnahnya akan mendapat balasan setimpal sesuai janji Allah. Siapa menabur angin pasti akan menuai badai. Itu sudah mulai terbukti walaupun Subarda tidak pernah punya cita-cita untuk bisa melihat hal seperti itu di dunia ini.
Ternyata orang-orang yang menuduhnya tidak lebih baik dari dirinya.
“Allah membukakan mata saya dan telah menunjukkan kebesaranNya,” ujar Subarda.
 “Jika saya korupsi Rp.410 miliar, tentu sudah mati dari kapan-kapan,” katanya dalam berbagai kesempatan.
 Siapa yang kuat menahan rasa bersalah begitu lama? Tapi karena Subarda tidak korupsi, Subarda tidak pernah merasa bersalah. Itulah yang membuat dia tetap kuat dan tabah menjalani hidup ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar