Selasa, 02 Agustus 2011

Bab 1 : Sendok Perak Sejak Bayi


Pengalaman masa kecil dan cara pengasuhan di masa anak-anak sangat menentukan karakter orang di masa depan. Sifat dan perangai manusia ditentukan oleh masa kanak-kanaknya. Orang Inggris mengatakan “No man is an island”. Orang Sunda bilang “Tidak ujug-ujug”. Semua ada purwadaksinya. 
Subarda yang pada puncak kariernya dikenal sebagai “Jenderal Pengusaha” tentu tidak berdiri dengan sendirinya. Subarda lahir di Sukabumi, 6 Januari 1939, dari keluarga ningrat Dalem Kaum Bandung. Sejak kecil sudah terbiasa hidup berkecukupan. Semasa bayipun sudah “disuapi dengan sendok perak”. Artinya, lahir dari keluarga berada.
Ayahnya, Sudarma Midjaya, adalah pegawai di Bank Rakyat zaman Belanda dan pada masa kemerdekaan menjadi Kepala Perpustakaan di Kantor Gubernur Jawa Barat. Ibunya, Hj. Sutarsih, Menteri Guru Sekolah Wanita  dan satu angkatan dengan Raden Dewi Sartika, tokoh perempuan pergerakan di Jawa Barat.
Meski sibuk sebagai Kepala Sekolah, Hj. Sutarsih mempunyai naluri bisnis yang lumayan tinggi. Ia suka jual beli emas, sering datang ke pegadaian mencari barang-barang yang jatuh tempo yang mau dilelang, membeli rumah bekas untuk diperbaiki lalu dijual kembali.
Atas pengabdian dan jasanya sebagai guru dan jiwa wirausahanya, Hj. Sutarsih merupakan satu-satunya wanita Priangan yang mendapat bintang dari pemerintah Belanda.
Subarda terlahir sebagai bungsu dari tiga bersaudara. Kebetulan laki-laki semua. Dua kakaknya, sudah almarhum. Kasrifin Sudarma Midjaya, si sulung yang menjadi kapten pilot penerbang Garuda Indonesia, wafat tahun 2003. Ratuli Sudarma Midjaya, kakak nomor dua, tokoh pariwisata nasional, meninggal dunia tahun 1985. 
Belajar berbisnis secara alamiah dari kedua orang tuanya, Subarda kecil tumbuh menjadi seorang pengusaha yang jenderal atau jenderal yang pengusaha. Terakhir, ia menjabat Direktur Utama Asabri (1994-1997).
           Subarda menghabiskan masa kecil dan remajanya di Bandung dan Sukabumi. Ia lulus SD Lengkong Utan tahun 1952, SMP 4 Bandung tahun ...., SMA 3 di Jalan Belitung Bandung tahun 1958.
          Mohamad Sulaeman, teman SMA Subarda, mengatakan sahabatnya itu tidak pernah susah atau pun berkeluh kesah. Mungkin secara materi tidak ada masalah. Maklum, dia anak orang kaya, sawahnya banyak. Dia juga tidak pelit. Dia suka mentraktir teman-temannya, termasuk Sulaeman.
Mungkin karena selalu tercukupi kebutuhannya, Subarda sejak remaja pun dikenal sebagai orang yang murah hati. Suka menolong. Subarda gampang jatuh simpati pada siapa saja yang kesusahan. Tak pernah berburuk sangka. Ia percaya semua orang itu baik sampai terbukti sebaliknya. Kalau dikhianati atau ditipu, Subarda baru tidak akan mempercayai orang itu sampai mati.
“Itulah karakter Subarda yang saya kenal sejak kecil,” kata Sulaeman yang rumah orangtuanya bertetangga dengan keluarga Subarda.
          Sulaeman juga mengenal Subarda sebagai sahabat sejati. Orangnya baik, bicara Sundanya halus. Mereka sering mengerjakan PR bersama atau main bola bareng. Kadang-kadang juga bolos sekolah demi nonton bioskop dekat alun-alun kota Bandung.
           Sejak remaja, Subarda sudah keranjingan nonton film. Kalau sudah ada film yang dibintangi Marlon Brando, idolanya, pasti mereka bolos.
         “Film bagus nih. Kalau tidak nonton sekarang, bisa jadi besok sudah ganti film lain,” kata Subarda membujuk teman-temannya untuk nonton bareng.
         Di mata Sulaeman, sosok Subarda saat SMA biasa-biasa saja alias tidak terlalu menonjol di bidang pelajaran. Justru yang sangat menonjol di diri dia adalah jiwa seninya. Subarda suka mengambar dan rajin belajar tari Sunda di dekat rumahnya.
“Dia belajar tari Ketuk Tilu dan Jaipongan. Dia sangat terampil menarikan tarian tersebut. Kalau sudah dengar bunyi gendang, asoy geboy deh,” cerita Sulaeman sambil tertawa.

Tak mimpi jadi tentara
          Selepas SMA tahun 1959, Subarda masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran. Ia memang pernah bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, kuliah di Fakultas Kedokteran bukan hal yang murah. Buku-buku pelajaran dan alat-alat praktek sangat mahal. Padahal, orang tuanya memasuki masa pensiun.
          Meski ayah ibunya berjanji sebisanya membiayai kuliah di Fakultas Kedokteran, Subarda tidak ingin merepotkan orangtuanya. Satu tahun belajar kedokteran di Unpad, ia mengundurkan diri. Subarda rela mengubur cita-cita menjadi dokter, dan mencari pendidikan lain yang tak membenani orang tuanya. Mendaftarlah dia ke Akademi Militer Nasional (AMN).
          Subarda tak pernah bermimpi jadi tentara. Ia tertarik masuk AMN karena sering melihat iklan AMN yang diputar di bioskop dan melihat taruna jalan-jalan dengan seragam militer yang gagah. Lebih dari itu, menjadi taruna AMN tidak perlu bayar. Alias gratis.
Secara kebetulan, Subarda dan Sulaeman sama-sama mau mengikuti testing dan psikotes.  “Kamu ikut-ikutan saja mendaftar AMN,” canda Sulaeman kepada Subarda. Dia pun balas menjawab, “Kamu yang ikut-ikutan,”. Kedua sahabat itu tertawa bersama.
“Mudah-mudahan kita diterima,” kata Sulaeman.
Alhamdulillah, keduanya diterima di AMN.  Berangkatkah mereka ke Lembah Tidar Magelang untuk digembleng menjadi prajurit professional. Mereka berangkat dengan kereta api. Sepanjang perjalanan sibuk mematut-matut diri, “Apakah saya pantas jadi serdadu?”.
Ia tahu pasti, kehidupan tentara sangat keras. Sedang ia sendiri sadar bahwa dirinya berjiwa lembut dan kurang suka kekerasan. Satu-satunya kekerasan yang ia sukai adalah di film.
Ia senang menonton film koboi, terutama kalau dibintangi oleh Marlon Brando atau si botak Telly Savalas. Ia suka adegan tembak-tembakan. Tapi hanya di film. Dalam kehidupan nyata, berantem dengan teman di sekolah pun belum pernah.
Tadinya sedikit gamang. Dunia militer bukanlah dunianya. Tapi, sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Jika harus memilih jadi taruna atau penganggur, tentu pilihannya adalah yang pertama. Sampai di stasiun Tugu, Semarang, tekad Subarda menjadi tentara sudah bulat. Ia tak ragu lagi.
“Yang terjadi terjadilah. Mungkin garis hidup saya harus jadi prajurit,” katanya dalam hati.
Maka dengan suka cita dan semangat membara, ia pun memasuki pintu gerbang AMN. Begitu juga ketika lulus tiga tahun kemudian, ia keluar dari gerbang AMN tahun 1962 dengan riang gembira menyongsong karier militernya yang terbuka. Semua orang tahu, perwira-perwira muda lulusan AMN adalah calon-calon pimpinan TNI di masa depan. Banyak juga yang kemudian menjadi pimpinan daerah dan nasional.
Jika mengingat-ingat kembali kehidupannya sebagai taruna, maka masa-masa perpeloncoan merupakan saat-saat yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh Subarda.
          Hari-hari pertama di Lembah Tidar betul-betul mendebarkan. Masuk ke lapangan sepakbola, dijanjikan menonton pertandingan bersama “cewek-cewek cantik”. Tidak tahunya, semua calon prajurit taruna dibombardir dengan tembakan dan ledakan.
Subarda dan kawan-kawan terjungkal dan mandi lumpur. Ia harus merayap supaya tidak terkena tembakan. Salah-salah, ketika merangkak itupun dia diinjak oleh seniornya yang bersepatu lars.
          “Sebagai prajurit, kalian harus terbiasa dengan situasi perang. Kalian harus bisa lolos dari serbuan udara dan tembakan seperti ini,” teriak senior yang memelonconya.
          Semua calon prajurit taruna diplonco habis-habisan. Mereka dikenalkan dengan gemblengan fisik yang keras tanpa makanan dan minuman yang cukup. Dunia tentara memang dunia kekerasan. Prajurit dilatih untuk survive dan memenangkan perang.
          Pernah Subarda dimasukan ke dalam sebuah drum besar bekas minyak atau aspal.
          “Kau belum pernah naik mobil Mercy? Sekarang naiklah!” kata instruktur sambil menendang drum itu dari atas bukit. Maka drum berisi tubuh Subarda pun meluncur dan menggelontor dari puncak bukit sampai ke sawah.
          “Badan saya sampai lecet dan luka-luka semua. Berat sekali latihannya,” kenang Subarda getir.
          Tapi bukan hanya kegetiran saja yang dialami Subarda selama dalam kawah candradimuka. Hal-hal yang menyenangkan dan kenangan juga banyak dia alami. Misalnya saja, ia selalu tersenyum ketika mengingat mengapa senior suka memanggilnya sebagai “Swike”.
          “Mungkin karena tubuh saya yang putih mulus mirip kodok swike yang baru dikuliti,” katanya sambil tersenyum.
          Ia juga tidak tahu mengapa pula ia diberi nama suci “Demit”.
          “Mungkin karena postur tubuh saya yang besar seperti dedemit. Mungkin juga karena tampang saya menakutkan. Saya tidak tahu persis,” katanya.
          Demit atau swike, Subarda tidak ambil pusing benar. Yang jelas, disamping latihan fisik dan teknik militer yang keras, Subarda toh masih bisa mengembangkan bakat seninya di AMN. Buktinya, dia bisa aktif di kegiatan drumd band.
          “Saya masuk drumband AMN dari tingkat satu hingga tingkat tiga. Saat kelas tiga, saya bahkan menjadi komandan drumband atau mayoret,” katanya tersenyum bangga.
          Menjadi komandan atau mayoret di AMN tidak sembarang taruna bisa. Mereka harus melalui psikotes lebih dulu, selain mempunyai nilai akademik yang baik dan mental yang bagus. Subarda seperti tak kenal lelah, kalau berlatih drumd band. Saat sebagian teman-teman istirahat, dia terus memainkan tongkat mayoretnya.
“Saya menilai dia tahan banting dan tekun,” kenang Sulaeman.
          Oleh karena perangainya yang halus dan bakat seninya yang tinggi, saat menjadi taruna, perwira, atau jenderal sekalipun, Subarda tidak pernah menunjukkan kebengisan tentara.
          Dalam kecabangan pun, Subarda tidak masuk ke tentara yang disiapkan untuk berperang di garis depan. Ia bersama sahabat karibnya, Sulaerman, bergabung dengan Artileri Medan (Armed). 
“Itu karena nilai Ilmu Pasti saya yang bagus,” kata Subarda.
Lulusan taruna yang nilai Ilmu Pastinya bagus kebanyakan masuk Armed. Pasalnya, kalau menembakkan meriam, itu kan harus pakai hitung-hitungan yang rumit.
          Bagi yang masuk Armed, pendidikan kecabangannya ditempatkan di Cimahi selama enam bulan. Sedang bagi yang ditempatkan di Kaveleri, pusat pendidikannya ada di Cikado Bangkong. Infanteri pusat pendidikannnya ada di Jalan Supratman. Sedang Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) di Malang.

Jadi fotografer keliling
          Setelah mengikuti pendidikan kecabangan itu, Subarda ditempatkan di Batalion Armed IV Cimahi, Kodam Siliwangi, dengan pangkat Letnan Dua. Di luar jam dinas, Subarda masih sempat  mengembangkan bakat bisnisnya.
Untuk cari tambahan penghasilan, ia menjadi juru foto keliling. Dengan menenteng sebuah kamera, dia keluar masuk kampung. Kadang dia naik sepeda, kadang pula naik mobil jeep ges. Dia juga mendidik beberapa kopral, anak buahnya, bagaimana menjadi fotografer yang baik. Jadilah para kopral itu tukang foto keliling.
“Saya lalu buka studio cuci cetak foto. Kopral-kopral yang potret keliling, saya yang afdruk, saya yang terima duit,” katanya.
Ide usaha cuci cetak tersebut di dapat karena kaum remaja masa itu sangat gandrung dengan foto hitam-putih. Ia mengaku, gaji pokoknya waktu itu hanya cukup untuk membeli tiga kaleng susu anaknya.
Pada periode sulit itu dirinya terus disokong secara materi oleh orang tua selama beberapa tahun. Namun, rasanya tidak enak kalau merepotkan terus orang tuanya. Ia membuka studio cuci cetak foto itu supaya bisa menghidupi diri dan keluarganya secara mandiri.
          “Lumayanlah…, dengan usaha itu saya tidak minta-minta tambahan uang lagi dari orangtua,” katanya.
          Selain potret memotret, hobby nonton bioskop juga menjadi inspirasi bagi Subarda untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Ada tetangganya yang suka menyewakan film-film untuk diputar di bioskop-bioskop. Subarda menyewa sejumlah film untuk diputar di berbagai daerah di Jawa Barat.
          ”Satu kaset film semalam diputar di tiga gedung bioskop dengan jangka waktu yang berbeda. Jadi setiap malam kita keliling ke gedung-gedung bioskop. Pagi hari kita kerja biasa dan memesan film lain untuk daerah lain,” cerita Subarda.
          Atas izin atasannya, Subarda juga memimpin usaha jual beli kacang ijo. Dengan  memanfaatkan kendaraan batalyon, Subarda membeli kacang ijo dari Jatiwangi. Lalu di angkut ke Bandung untuk dijual di pasar Gambir. Begitulah cara Subarda ”ngobyek”  untuk kepentingan anggota batalionnya.
Ada cerita lucu terjadi. Suatu ketika Subarda membeli tiga truk kacang ijo. Perjalanan dari Jatiwangi ke Bandung hujan besar, sementara penutup truknya kurang baik terpalnya. Sampai di Pasar Gambir pembelinya tidak mau beli karena kacang ijonya basah kuyup. Terpaksa truk dibawa ke batalyon dan parkir semalam di sana.
”Tau tau paginya sudah jadi toge. Akhirnya yang senang anggota. Kita bagikan saja toge itu di asrama,” kenang Subarda mengenai suka dukanya di Batalion IV Artileri Medan Parahiangan antara tahun 1964-1965.
Setelah peristiwa Gerakan 30 September PKI, batalion Subarda ikut dalam operasi penumpasan komunis. Baru setelah itu, Subarda aktif lagi dengan bisnisnya. Ia menyewakan motor boat untuk para nelayan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Nelayan cari ikan dengan motor boat Subarda. Bensinnya ditanggung nelayan dan hasil tangkapan dibagi dua.
”Lumayan. Dapur keluarga tambah mengepul,” katanya tentang keuntungan dari bisnis sewa menyewa motor boat tersebut.
 Sampai pangkat kolonel pun, Subarda tidak lupa berbisnis.
”Saya pernah jualan sapi dari Mataram ke Jakarta,” kenangnya.
Ia membeli sapi dari Mataram dan menyewa satu atau dua gerbong kereta api untuk dibawa ke Jakarta. Ketika diurus sendiri, bisnis sapi untungnya besar. Tapi ketika menyuruh orang lain, tidak pernah sukses.
Hal ini karena beratnya dari Mataram mungkin 100 kg per satu sapi. Sepanjang perjalanan si sapi dikasih makan yang cukup, sehingga kalau pun beratnya susut hanya sekitar 5 kg. Tapi seandainya orang lain yang urus, sampai di Jakarta susutnya sampai 20 kg. Akhirnya untungnya itu tidak ada karena perbedaan harga akibat berat badan sapi yang merosot.
Ada orang pintar yang ngomong ke Subarda. Ia mengatakan, ”Pak kalau usaha, jangan yang bernyawa. Kalau bapak usaha yang bernyawa, nanti nyawa bapak juga habis”.
Akhirnya bisnis sapi berhenti. Lalu Subarda menekuni bisnis yang tidak bernyawa. Banyak bisnis yang ditekuninya. Mulai dari batu granit, produk kosmetik, biro perjalanan, real estates, sampai waterparks. Teman-teman Subarda yang satu lichting  mengenalnya sebagai tentara yang pandai berbisnis.  
Riwayat karier militer Subarda lebih banyak terkait dengan masalah pembinaan personil dan pendidikan. Ia pernah menjadi guru militer. Pernah juga menjadi Asisten Personil Kodam Udayana saat Pangdamnya Letjen Dading Kalbuadi. Dading adalah komandan utama operasi di Timor Timur dan Subarda bertanggungjawab untuk mengurus personil yang bertugas di Timor Timur antara 1981-1984.
”Saya asisten personil Pak Dading dan saya ngurusin manusia-manusia satuan elit,” kata Subarda.
 Dari Kodam Udayana, Subarda terus ke Mabes ABRI. Ia menjadi Direktur Pembinaan di Departemen Pertahanan dan Keamanan. Lalu dipindah ke Bandung menjadi Wakil Komandan Seskoad mendampingi Feisal Tanjung sebagai komandannya.
 Subarda mendapat bintang dua ketika menjadi Komandan Pusat Penerimaan Pendidikan dan Latihan TNI AD tahun 1993. Tak lama kemudian diangkat menjadi Direktur Kodiklat tahun 1994 sebelum pensiun.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar