Selasa, 02 Agustus 2011

Bab 5 : Untuk Partai Demokrat


            Subarda selalu bersemangat kalau bicara tentang kiprahnya di Partai Demokrat. Sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu Daerah (Bappiluda) Jawa Barat, ia memanggul tanggungjawab yang luar biasa besar. Hitam-putihnya, menang-tidaknya, Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 di Jawa Barat berada di tangan timnya. Apalagi, Jawa Barat selama ini menjadi lumbung padi perolehan suara Partai Demokrat.
            “Perolehan suara di Jawa Barat sama dengan 13 provinsi di kawasan Indonesia Timur. Kalau Jawa Barat menang, semuanya akan lebih mudah,” kata Subarda yang merupakan salah seorang pendiri DPD Partai Demokrat Jawa Barat.
            Ia mengatakan jumlah pemilih di Jawa Barat pada Pemilu 2009 nanti kurang lebih 36 juta orang. Suara melimpah ini tentu harus direbut oleh Partai Demokrat dan Subarda bertekad menjadikan Bappiluda yang dipimpinnya menjadi mesin pendulang suara yang efektif.
            “Tujuannya adalah bagaimana meraih lebih banyak kursi di DPR. Bila pada Pemilu 2004 mendapat 9 kursi atau 7,5%, pada Pemilu 2009 diusahakan naik dua kali lipat menjadi 18 kursi atau minimal 15%,” katanya.
            Sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam pemenangan Pemilu untuk partainya, Subarda bergerak cepat. Ia melancarkan program konsolidasi internal partai, menyusun strategi, menggalang dukungan, melayani dan mendekati publik agar Partai Demokrat dirasakan keberadaan dan perjuangannya oleh masyarakat.
            “Untuk membesarkan partai, kita tidak boleh berdiam diri dan merenung di bawah pohon Kamboja,” tegasnya dalam sebuah pertemuan dengan kader-kader partai di Markas Bappiluda Partai Demokrat Jawa Barat, Jalan Dalem Kaum No.7 Bandung.
            Subarda sendiri, seperti dikemukakan fungsionaris Partai Demokrat Jawa Barat Darsuf Yusuf, sudah “all-out” untuk kejayaan partai. Ia memberikan waktu, perhatian, dan dukungan finansial untuk kebesaran Partai Demokrat. Ia persembahkan gedung dua lantai warisan orang tuanya di Jalan Dalem Kaum No.7, Bandung, untuk jadi markas kegiatan partai.
Gedung itu, bersama isi dan segala fasilitasnya, dijadikan kantor Bappiluda Partai Demokrat Jawa Barat. Ada ruang pertemuan untuk sekitar 100 orang, ruang tamu, ruang kerja, dan ruang rapat. Seluruh dinding dihiasi pernik-pernik dan ornamen partai dari mulai bendera, spanduk, sampai foto-foto Ketua Dewan Pembina, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
            Pada Jum’at malam setiap pekannya, Subarda menggelar rapat Bappiluda. Ada saja yang dibahas dan didiskusikan. Sesekali mengundang pakar berbagai bidang untuk membantu merumuskan strategi dan aksi-aksi bagi pemenangan Pemilu. Seusai pertemuan biasanya dilanjutkan dengan makan malam bersama. Kadang prasmanan, kadang cukup nasi bungkus. Tergantung kondisi keuangan dan kocek Subarda waktu itu.
            “Genderang perang sudah ditabuh oleh SBY saat Rapimnas lalu. Pemilu memang masih dua tahun lagi. Tapi pembinaan, penggalangan, dan pengerahan harus dimulai dari sekarang. Kami harus menciptakan kader-kader militan, bukan kader-kader janggut yang bisanya cuma menggantung (ke tokoh tertentu),” katanya.
            Subarda sangat yakin figur SBY tetap memiliki nilai jual tinggi untuk maju lagi sebagai calon Presiden pada Pemilihan Presiden 2009. Sampai saat ini, menurut pandangan Subarda, tidak ada figur lain sekaliber SBY yang bisa menjadi kandidat pimpinan nasional.
            “Untuk RI-1, saya kira, tak ada tokoh lain selain SBY. Tidak ada figur lain yang lebih baik lagi dari beliau,” katanya memastikan bahwa Partai Demokrat Jawa Barat akan  mengusung kembali SBY sebagai calon presiden pada Pilpres 2009.
            Subarda memang punya hubungan sejarah dan emosional yang kuat dengan SBY. Justeru karena kedekatannya dengan SBY itulah Subarda jadi ikut “cawe-cawe” di Partai Demokrat. Sewaktu Subarda menjadi Wakil Komandan Seskoad, SBY adalah siswa dan dosen Seskoad. Subarda ketika itu sudah melihat SBY, bersama-sama dengan Agus Wirahadikusumah dan Agus Wijoyo, sebagai perwira TNI yang cakap dan menonjol. Oleh karena itulah Subarda mengirim ketiganya untuk bersekolah di luar negeri.
            Saat itupun, dalam hati Subarda, sudah terbersit bahwa SBY akan menjadi seorang pimpinan nasional lima sampai sepuluh tahun ke depan. Ia fikir seseorang yang dikader untuk menjadi pimpinan nasional, harus dibekali dengan pengetahuan, pengalaman dan wawasan internasional. Pendidikan di luar negeri merupakan satu jalan untuk mempersiapkan pimpinan nasional di era globalisasi, dimana dunia telah menjadi semacam kampung global (global village).
            “Feeling saya mengatakan orang ini bisa jadi presiden. Ternyata memang SBY jadi presiden,” katanya dengan nada bangga.
            Subarda ikut bangga karena dia merasa sedikit punya andil dalam perjalanan karier presiden pilihan rakyat itu. Faktor SBY itulah yang membuatnya mau ikut mendirikan Partai Demokrat di Jawa Barat.
            Ceritanya, pada tahun 2004, setelah mengundurkan diri sebagai Menko Polkam dari kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, SBY mendirikan Parpol baru yang dinamakan Partai Demokrat. Setelah DPP Partai Demokrat terbentuk dengan Ketua Umum Subur, maka ada keperluan untuk membentuk DPD-DPD di daerah. Untuk Jawa Barat, Subarda bersama sejumlah tokoh lain mendirikan Dewan Perwakilan Daerah.
Yang diangkat menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Barat adalah Tata Zaenal Mutaqien (kini anggota DPR RI), sedangkan Subarda sendiri memilih menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPD). Pilihan menjadi Ketua MPD karena dari awal memang Subarda tidak menginginkan menjadi anggota legislatif atau jabatan politik lain seperti Gubernbur atau Bupati.
“Saya hanya ingin menjadi pekerja partai. Target saya mengabdi kepada partai dan sama sekali tidak ingin balasan atau pamrih,” kata Subarda.

Menolak dicalonkan
Oleh karena itu, ketika  pada Pemilu 2004, Partai Demokrat memenangkan suara secara signifikan, Subarda menolak untuk dicalonkan dan diangkat menjadi anggota legislatif di DPR Pusat atau DPRD Tingkat I dan II. Partai Demokrat Jawa Barat berhasil menempatkan 9 orang di kursi DPR Pusat dan sekitar 300 orang untuk DPRD Tingkat I dan Tingkat II.
Padahal, sebelumnya SBY hanya meminta Partai Demokrat Jawa Barat agar bisa lolos electoral threshold saja, yakni mendapatkan 15 persen dari total suara. Sebagai partai politik baru, SBY tidak mentargetkan perolehan suara muluk-muluk. Lolos batas perolehan suara saja sudah bagus.
“Ternyata kita berhasil memperoleh lebih dari 15 persen suara, sehingga kita mendapat predikat lumbung padinya Partai Demokrat,” kata Subarda senang.
Pada Pemilu Presiden langsung, Subarda bersama-sama seluruh jajaran Partai Demokrat Jawa Barat berjuang mati-matian untuk mengusung duet SBY-JK. Dengan motto “Bersama Kita Bisa”, pasangan SBY-JK memperoleh simpati dari pemilih. Meskipun demikian, kampanye negatif dan serangan terhadap SBY waktu itu sangat kencang, termasuk memasuki wilayah pribadi.
“Bu Ani Yudhoyono diisukan non Muslim hanya karena namanya Kristiani. Untuk menangkal isu itu kita bikin buku “Apa dan Siapa SBY dan Ibu Ani”. Kita sebar dan bagi-bagikan ke masyarakat. Alhamdullilah, masyarakat tidak termakan isu negatif,” kata Subarda.
Pada Pemilihan Presiden langsung, pasangan SBY-JK di Jawa Barat menang telak. “Kita memperoleh 62 persen suara. Alhamdullilah,” kata Subarda dengan berbinar-binar.
Untuk Pemilu 2009, Subarda telah bersumpah untuk kembali mati-matian memperjuangkan SBY menjadi presiden untuk masa jabatan kedua kalinya. “Partai Demokrat Jawa Barat siap memenangkan SBY untuk kedua kalinya,” tegasnya.
Semua jerinh payah dan usahanya itu dilakukan dengan ikhlas. Tanpa pamrih dan minta balasan.
“Subarda tidak punya pilihan apa-apa dengan segala pengorbanan beliau di partai. Setelah Pemilu legislatif, Ia tidak berambisi untuk mempunyai jabatan apa-apa. Ia hanya berjuang untuk kesuksesan SBY, kebesaran dan kemajuan partai,” kata Darsuf Yusuf, Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Kader Partai Demokrat Jawa Barat.
Menurut Darsup, partai tidak memberi dana sepeserpun.
“Partai Demokrat Jawa Barat besar dan menang Pemilu, itu obsesinya. Dari pergaulan sehari-hari dan saya kenal dekat dengan Subarda jauh sebelum jadi fungsionaris partai, maka kirprahnya murni untuk kemajuan partai,” ujar Darsup yang pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi TNI-Polri.
            Pada Musyawarah Partai Demokrat Jawa Barat yang digelar 22-23 Juni 2006 di Hotel Grand Aquila, Bandung, Subarda termasuk salah satu kandidat Ketua DPD Partai Demokrat menggantikan pejabat lama, Tata Zaenal Mutaqien. Seluruhnya, ada sembilan kandidat, termasuk Subarda, yang bersaing untuk memperebutkan kursi Ketua DPD.
            Dari kesembilan calon itu, tiga kandidat adalah purnawirawan jenderal bintang dua. Mereka adalah mantan Pangdam Siliwangi Mayjen TNI (Purn) Tayo Tarmadi, mantan anggota DPR Mayjen TNI (Purn) Darsup Yusuf dan mantan Dirut Asabri Mayjen TNI (Purn) Subarda Midjaja. Ketiganya bertarung dengan enam kandidat lain yang berasal dari berbagai latar belakang.
            Keenam calon lainnya adalah Akilla M. Husen, Edi Kusnadi, Tubagus Edi, Karhi Mizar, H. Daday Hudaya dan Deny Ramawijaya. Ketua DPD terpilih, Adjeng Ratna Suminar, baru masuk bursa kandidat pada injury time atau detik-detik terakhir pemilihan.
            Menurut Ketua Pelaksana (OC) Musda, Bey Laksmana, Partai Demokrat tidak membeda-bedakan latar belakang para calon tadi. "Semua sama anggota Partai Demokrat. Tidak ada perbedaan sipil atau militer, siapa saja berhak. Lagi pula mereka sudah purnawirawan," katanya ketika dimintai tanggapan soal masuknya tiga jenderal purnawirawan dalam bursa calon ketua.
            Pelaksanaan Musda membuat suhu politik di lingkungan Partai Demokrat Jawa Barat meningkat.  Di samping pemilihan ketua, agenda Musda juga membahas program kerja, rekomendasi dan pernyataan politik, serta pertanggungjawaban pengurus sebelumnya.
            Kursi Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Barat waktu itu cukup panas diperebutkan. Siapapun yang terpilih, dia punya peluang untuk meniti karier lebih jauh lagi. Pengamat politik dari Universitas Pajajaran Dede Mariana, misalnya, menilai kemunculan Tayo Tarmadi dalam bursa pemilihan Ketua DPD bisa jadi ajang bagi dirinya untuk menjadi calon Gubernur Jawa Barat pada Pilkada 2008.
“Saya kira mungkin saja. Terlebih, pada 2008 nanti diperkirakan Jabar akan kesulitan mencari pemimpin,” kata Dede kepada wartawan. 
            Daday Hudaya, calon lain, menyatakan tetap mencalonkan diri meskipun Ketua DPP Hadi Utomo melarangnya. Pelarangan itu berkaitan dengan posisi Daday sebagai anggota DPR RI. Hadi Utomo menetapkan kandidat ketua DPD tidak boleh diikuti kader yang menjabat sebagai anggota DPR RI.
 “Instruksi saya terkena pada Pak Daday. Ia harus mengajukan pengunduran sebagai anggota DPR RI. Kalau tetap, tidak boleh maju jadi kandidat,” katanya.
            Hadi menandaskan, apabila ketentuan itu dilanggar, bisa saja muncul sanksi berupa teguran lisan, tertulis, reposisi, ataupun tindakan yang sangat keras dari Badan Kehormatan Partai. Oleh karena pelarangan itu tidak ada di AD/ART, maka Daday meradang.
“Tidak ada aturannya. Saya akan tetap maju,” kata Daday seperti ditulis harian Pikiran Rakyat.

Kampanye negatif
Menjelang Musda, situasi politik intern Partai Demokrat Jawa Barat mendidih. Black campaign dan intrik-intrik bersliweran. Upaya pembunuhan karakter terhadap kandidat juga kental dirasakan.
Meskipun belum bisa dikonfirmasikan dan dibuktikan kebenarannya, Subarda juga jadi target pembusukan. Informasi-informasi negatif terhadap Subarda disebarkan dalam kaitan menghambat laju pencalonannya sebagai Ketua DPD. Masalah Asabri dan keterlibatannya dengan kasus Henry Leo dibongkar dan diungkit-ungkit kembali.
“Kasus Asabri dimunculkan lagi pada saat saya dicalonkan sebagai Ketua DPD. Ini pasti permainan untuk menjegal saya,” kata Subarda.
Namun Subarda mengaku sulit untuk membuktikan siapa dalang dari permainan kotor itu. “Ini kan seperti orang kentut dalam lift. Baunya ada kita rasakan, tapi sulit untuk menuding siapa yang menghembuskan gas itu,” Subarda berumpama.
            Walhasil, sembilan calon yang meramaikan persaingan semuanya terjungkal dalam pemilihan yang digelar sekitar pukul 00.52 WIB. Pada detik-detik terakhir, muncul calon baru, yaitu Adjeng Ratna Suminar yang menjabat penjabat pelaksana tugas Ketua Partai Demokrat Jawa Barat.
            Kemunculan Adjeng menjadi salah satu kandidat di luar dugaan. Pasalnya, nama Adjeng sama sekali tidak termasuk dalam salah satu dari 9 kandidat yang beredar sebelum Musda. Sebelumnya, nama yang lebih menonjol justru berasal dari kalangan militer, seperti  Tayo Tarmadi, Darsup Yusuf, dan Subarda Midjaya.
            Awalnya, Adjeng mengaku tidak akan ikut mendaftarkan diri menjadi Ketua DPD. “Tapi, setelah melihat ada persaingan yang kurang sehat, saling menjelekkan dan kurang kondusif, saya akhirnya terpanggil untuk mendaftarkan diri,” kata Adjeng kepada wartawan sebelum terpilih menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Jabar periode 2006-2011. 
            Pemilihan Ketua DPD Partai Demokrat Jabar dilakukan dalam dua putaran. Dari 7 pasang kandidat, dua pasang kandidat yaitu Darsup Yusuf-Soegiyanto dan Adjeng-Budiawan berhasil lolos ke putaran kedua karena berada di urutan teratas dengan perolehan suara 12 dan 8.
            Setelah digelar pemilihan putaran kedua, pasangan Adjeng-Budiawan berhasil mengungguli pasangan Darsup Yusuf-Soegiyanto. Dari 28 suara yang diperebutkan dalam pemilihan putaran kedua tersebut, pasangan Adjeng-Budiawan memperoleh 15 suara, sementara Darsup-Soegiyanto memperoleh 13 suara.
            Dalam “kabinet” Adjeng, Subarda dipercaya menjadi Ketua Badan Pemenangan Pemilu Daerah (Bappiluda) Partai Demokrat Jawa Barat.  Sebuah tugas berat yang tidak bisa diberikan kepada sembarang orang. Pilihan sangat tepat diberikan kepada Subarda, karena purnawirawan perwira tinggi TNI itu sudah terbukti punya andil besar dalam kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2004.
            “Kalau Partai Demokrat Jawa Barat pada Pemilu 2009 kalah, saya bisa ‘digantung’. Sebaliknya, kalau perolehan suaranya meningkat, saya tidak pamrih apa-apa,” kata Subarda.

Ingin fokus ke partai
            Oleh karena tugasnya yang berat itu, Subarda ingin fokus dalam tugasnya sebagai Ketua Bappiluda Partai Demokrat Jawa Barat. Selama ini, konsentrasi untuk mengurus partai agak terganggu karena masih direcoki oleh kasus Asabri yang tidak selesai-selesai.
Setelah kasus itu dimunculkan kembali di media, ia pun diperiksa oleh Puspom TNI. Padahal, status Subarda sudah bersih atau clear. Mabes Polri sudah mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan Subarda tidak cukup bukti. Hasil pemeriksaan polisi membuktikan Subarda bukan koruptor sebagaimana yang disangkakan kepadanya.
            Untuk itulah, sebagai kader partai ia menulis surat resmi kepada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kebetulan kini Presiden RI) untuk meminta perlindungan hukum demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Dalam surat tertanggal 4 Desember 2006, yang disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, itu Subarda menjelaskan bahwa agenda kerja selaku Ketua Bappiluda terhambat dan bahkan terbengkalai jika kasus itu terus mengambang dan tidak dituntaskan.
            Kasus Henry Leo yang secara politis disangkut-pautkan dengan diri Subarda berakibat menurunnya kinerja Badan Pemenangan Pemilu Partai, yang semestinya saat ini sudah telah siap memantapkan koordinasi Pilkada sebagai pilar Pemilu beserta Pilpres periode 2009-2014 mendatang.
            Subarda juga menulis kepada Ketua Dewan Pembina bahwa pelaksanaan agenda kerja partai terganggu akibat kasus Henry Leo yang menjadi kasus politik dan mempengaruhi opini publik. Jika tidak dituntaskan penyelesaiannya, maka dikhawatirkan akan menurunkan citra Partai Demokrat di Jawa Barat.
Padahal, Jawa Barat merupakan lumbung suara Partai Demokrat. Lebih dari 62% pemilih di provinsi Parisnya Jawa ini adalah simpatisan SBY dan Partai Demokrat. Jika konstituen potensial ini tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi kontra-produktif. Jika Subarda sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam pemenangan Pemilu direcoki oleh “hal-hal yang tidak perlu”, maka kinerja Bapiluda akan terbelenggu.
“Demi kebaikan partai, maka saya melalui surat pribadi minta SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat memberikan perlindungan kepada kadernya,” kata Subarda.
            Menurut Sudi Silalahi kepada keluarga Subarda, surat tersebut sudah diterima Presiden. Tidak jelas betul apakah surat pribadi itu ditindaklanjuti SBY. Yang jelas,  belakangan kasus Asabri tenggelam lagi dari pemberitaan media. Kasus Asabri kembali seperti menguap. Hilang diterpa angin.

Sampaikan usulan ke SBY
            Bukan surat berisi curhat saja yang dikirim Subarda ke SBY, tapi juga usulan-usulan. Sebagai pengusaha, Subarda pernah menyampaikan gagasan kepada SBY mengenai bagaimana memberdayakan pengusaha kecil dan menengah.
            Dalam pandangan Subarda, banyak pengusaha menengah ke bawah mempunyai peluang usaha atau memperluas usaha, namun sulit mendapatkan modal. Mereka dihadapkan pada aturan yang luar biasa ketat serta birokrasi yang bertele-tele.
            “Rata-rata mereka memiliki agunan yang memadai, tapi untuk dapat kredit tetap tidak mudah,” katanya.
            Di lain pihak, dana yang terhimpun di Bank Indonesia dan bank-bank pemerintah lain sangat besar. Dana-dana raksasa yang parkir di bank-bank plat merah itu belum dapat disalurkan ke masyarakat untuk kegiatan retail atau usaha perputaran dana lainnya yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat.
            “Selain menyebabkan inflasi, banyaknya dana parkir itu juga akan menghambat upaya pemerintah mengatasi pengangguran dan kemiskinan,” katanya.
            Kredit untuk modal usaha yang selama ini lancar tersalur ke pengusaha besar, menurut Subarda, belum terbukti bisa mengurangi pengangguran maupun mengentaskan kemiskinan. Sebagian besar kredit tersebut lebih banyak memperkaya si pengusaha besar serta lingkungan kelompoknya.
            Perusahaan yang sudah mapan, katanya, tidak memberikan peluang kerja pada para penganggur, bahkan sebaliknya terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efisiensi perusahaan atau akibat digunakannya mesin berteknologi tinggi yang tidak memerlukan tenaga manusia.
            “Kalau begitu situasinya, pengangguran akan lebih banyak lagi dan kemiskinan  bertambah lagi,” kata Subarda.
            Subarda mengapresiasi program-program untuk rakyat miskin yang dilakukan pemerintah melalui program, antara lain Santunan Langsung Tunai (SLT), Beras untuk rakyat miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan pembangunan Infrastruktur Desa Tertinggal (IDT).
            “Program-program itu memang mudah disalurkan, tetapi ada kesan itu membuang garam ke laut,” katanya.
            Selain itu, program-program yang baik itu dalam praktek sulit pengawasannya karena akan menjadi ajang kolusi dan korupsi.
            Untuk itu, Subarda mengusulkan program alternatif, yaitu penyaluran kredit yang dipermudah bagi pengusaha menengah ke bawah dengan agunan serta pengawasan yang ketat. Upaya ini akan langsung menyentuh masyarakat kecil, yaitu mempengaruhi pengurangan jumlah penganggur dan orang miskin.
            Subarda tahu persis kemampuan pengusaha menengah ke bawah saat ini sangat lemah dalam permodalan. Potensi serta kemauan usaha serta peluang sangat luas dan banyak. Rata-rata mereka memiliki agunan untuk usahanya, namun upayanya tersendat dengan aturan main yang berlaku di perbankan.
            Bank sendiri merasa trauma. Tanpa payung hukum yang aman dan kebijakan yang jelas terhadap dana yang disalurkannya, bank berfikir lebih baik dana disimpan di SBI saja. Ada kesan bahwa bank lebih merasa aman memberikan dana besar kepada satu pengusaha besar, ketimbang memberikan dana kecil kepada banyak pengusaha kecil.
Dari segi pengawasan dan birokrasi, kebijakan itu dirasakan lebih aman dan lebih mudah kepada bank pemberi kredit, namun kurang berdampak bagi program pemberdayaan ekonomi rakyat. Sedangkan gagasan Subarda adalah bagaimana memberdayakan pengusaha menengah ke bawah demi menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.
            Agar uang negara yang dikucurkan dalam bentuk kredit itu aman, maka dari awal sudah dibuat persyaratan yang ketat. Antara lain, usaha harus berprospek mendatangkan keuntungan, dapat menyerap tenaga kerja yang banyak, agunan dapat dicairkan segera, birokrasi yang dipermudah dan sederhana, suku bunga ringan, dan wajib membuat laporan bulanan kepada pengawas secara rutin.
            Usulan Subarda lain yang disampaikan kepada SBY adalah bagaimana gerakan anti korupsi bukan hanya menjadi gerakan pemerintah saja, melainkan menjadi gerakan seluruh rakyat. Subarda berpendapat gebrakan pemberantasan korupsi harus menjadi gerakan nasional seperti dalam permainan total football
            Dalam sistim total football, semua pemain menyerang dan berupaya memasukan gol ke gawang. Tugas menendang bola dan menciptakan gol, bukan hanya tugas stricker saja, tetapi juga tugas gelandang, back, bahkan penjaga gawang sekalipun!
            Dengan perumpamaan itu, Subarda mengajak agar tugas memberantas korupsi bukan hanya tugas Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, atau polisi saja, atau pemerintah saja. Akan tetapi tugas semua lapisan masyarakat, LSM, dan orang per orang.
            “Pemerintah tidak akan sanggup memberantas korupsi kalau kita semua tidak terlibat membasminya,” tegas Subarda.
            Mengutip pandangan para ahli, Subarda mengatakan korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Oleh karena sudah membudaya, maka cara memberantasnya harus menggunakan kampanye budaya.
            “Budaya malu menyogok harus dimasyarakatkan. Kampanye untuk mengatakan tidak terhadap korupsi harus digalakkan,” katanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar