Selasa, 02 Agustus 2011

Bab 2 : Dirut Asabri Yang Berani



            Subarda mempersiapkan masa pensiun dengan sukacita. Ia sudah mereka-reka macam apa kehidupannya di hari tua. Mengurus bisnis sesekali, meluangkan waktu lebih banyak buat keluarga, menekuni ibadah dan amaliah, serta mengabdi kepada kegiatan sosial. Alangkah indahnya menghabiskan sisa hidup seperti itu.
          Setelah lebih 30 tahun malang melintang dalam karier militernya, kini saatnya untuk beristirahat dan menikmati hidup sebagai orang bebas. Setelah meniti setapak demi setapak, perjalanan karier militernya tidak terlalu buruk. Bahkan cukup bagus dibanding teman-temannya.
Ia berhasil mencapai pangkat Mayor Jenderal dengan jabatan terakhir Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat. Padahal, tidak semua Angkatan AMN 62 bisa mendapat bintang dua. Kebanyakan purnabakti dengan pangkat Letnan Kolonel atau Kolonel.
          Subarda bersyukur bisa menyelesaikan tugas militernya dengan mulus tanpa cacat. Untuk loyalitas dan pengabdiannya di Angkatan Darat, Subarda mendapatkan Bintang Pratama. Meskipun tidak pernah bermimpi jadi serdadu, toh terbukti Subarda bisa menjadi tentara sejati. Mayor Jenderal lagi. Sambil menunggu persiapan pension, Subarda “diparkir” sebagai Perwira Tinggi (Pati) di Mabes TNI.
          Ia tidak menyangka kalau namanya sedang diusulkan oleh Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) TNI untuk menduduki jabatan Dirut Asabri selepas purnabakti.
Memang ada rumor yang menyebut-nyebut dirinya sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan penting di perusahaan atau yayasan milik TNI. Bahkan, I Gde Manila, rekannya dari Mabes TNI, berulangkali mengatakan agar ia mempersiapkan diri sebagai calon Dirut Asabri.
          “Siap siap ya…,” kata Manila.
          “Siap siap apa?” tanya Subarda.
          “You dicalonkan untuk jadi Dirut Asabri,” jawab Manila.
          Subarda menanggapinya setengah percaya setengah tidak. Kolonel (Purn) Sulaeman, teman satu angkatan di AMN 1962, mengatakan Subarda tidak punya keinginan yang menggebu, apalagi bersambisi, untuk menjadi Dirut Asabri, meski orang lain banyak yang mau. Tapi, Sulaeman mengakui jika Subarda santer disebut-sebut mau ditempatkan sebagai Dirut Asabri setelah pensiun. Subarda harus bersaing dengan sejumlah nama lainnya.
          “Sulaiman, doakan saya agar bisa berhasil menjadi Dirut Asabri ya… Tapi, untuk menuju ke sana banyak nominasi nih. Beratlah,” kata Sulaiman menirukan ucapan Subarda kala itu.
Sebagai teman satu angkatan dan satu SMA di Bandung, Sulaeman ikut mendoakan Subarda. “Kalau Tuhan meridhoi dan itu jalan dari Allah, Insya Allah kamu akan jadi. Sebaliknya, jika tidak jadi, terimalah dengan lapang dada,” pesan Sulaeman.
Sulaeman saat itu sudah yakin jika pencalonan Subarda menjadi Dirut Asabri pasti jadi. Keyakinan itu karena Subarda dikenal dekat dengan Panglima TNI Feisal Tanjung. Saat Subarda menjadi Wadan Seskoad, Faisal Tandjung adalah komandannya.
“Peluangmu cukup bagus. Feisal Tandjung dulu itu kan panglimamu?” kata Sulaeman mencoba meyakinkan Subarda. “Masak sih tidak jadi?”
“Ah, belum tentu,” jawab Subardja merendah.
Subarda memang hanya bisa menunggu tugas saja. Dia bukan tipe peminta-minta jabatan. Lagipula, kalaupun tidak jadi Dirut Asabri, ia sudah menyiapkan diri bagaimana menikmati masa pensiunnya.
          Tapi rupanya isu pencalonannya sebagai Dirut Asabri bukan isapan jempol belaka. Pada 8 Januari 1994 berdasarkan Keputusan Presiden No.02/ABRI/1994 Subarda diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan dengan hak pension. Tak lama kemudian, pada 17 Februari 1994 dengan SK Menhankam No. Skep/138/II/1994, Subarda diangkat menjadi Dirut Asabri.
          Begitulah. Rupanya negara dan TNI masih membutuhkannya untuk berkiprah. Subarda merelakan impiannya untuk hidup merdeka sebagai pensiunan ditunda untuk beberapa tahun lagi. Sebagai prajurit, ia pantang menolak tugas yang diberikan kepadanya.

Punya naluri bisnis
          Sejumlah orang berpendapat pengangkatan Subarda sebagai Dirut Asabri terkait dengan kedekatannya dengan Jenderal Feisal Tanjung, Panglima TNI waktu itu. Sewaktu Subarda menjabat Wadan Seskoad, Feisal Tanjung adalah Komandan Seskoad. Jadi memang keduanya punya hubungan dekat. Apalagi ketika itu bakat bisnis Subarda terlihat dengan mencolok. Ia sukses menjadi pimpinan proyek pembangunan rumah tamtama dan bintara di Bandung.
          “Tapi tidak benar kalau saya anak emas Jenderal Feisal Tanjung,” kata Subarda.
          Yang jelas, sebagai jenderal yang dikenal punya naluri bisnis, Subarda dianggap paling pas untuk memimpin Asabri. Ia mengalahkan kandidat lainnya.
Yang pertama kali dilakukan Subarda pada jabatan barunya adalah dengan cepat mempelajari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Asabri.
PT Asabri sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No.44 tahun 1971 jo PP No.67 tahun 1991, diberi kewenangan untuk melaksanakan kegiatan usaha Asuransi Sosial di lingkungan Dephan, TNI dan Polri. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Asabri berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada peserta dalam bentuk pemberian santunan.
Asabri bersama dengan Badan Pengelola Kesejahteraan Perumahan Prajurit (BPKPP) memberikan Bantuan Uang Muka Kredit Kepemilikan Rumah (BUM KPR) kepada prajurit yang pengembaliannya dikompensasikan dengan hak santunan peserta Asabri pada saat peserta menerima santunan.  
          Sumber keuangan Asabri dan BPKPP berasal dari potongan 10% dari gaji pokok prajurit. Perinciannya 4,25% untuk perumahan, 3,75% untuk santunan pension, dan 2% untuk asuransi kesehatan.  Pada waktu Subarda masuk ke Asabri menggantikan Letjen (Purn) Tjok Swastika, dana yang dikelola Asabri baru sekitar Rp300 milyar. Sedangkan untuk Dana Pensiun sebanyak Rp175 milyar.
          Setelah mengetahui Tupoksi Asabri dan jumlah dana yang dikelolanya, Subarda mulai menyusun program-program, target dan strategi pencapaiannya. Ia putar otak bagaimana membesarkan jumlah uang Asabri demi digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan prajurit. Ia bertekad untuk membangun 10.000 rumah prajurit pertahun!
          Subarda sangat prihatin sebagian besar pensiunan TNI serta PNS yang bertugas di lingkungan Departemen Hankam, tidak memiliki rumah. Sebab, sewaktu masih dinas aktif mereka umumnya tinggal di asrama yang disediakan angkatan.
Target membangun 10.000 rumah ini maksimum yang bisa dilakukan Asabri. Padahal, kebutuhan perumahan prajurit dan purnawirawan jauh lebih besar dari itu. Dari sekitar 3 juta personil TNI dan purnawirawan waktu itu, hanya 1-2% saja yang memiliki rumah. Yang lain tinggal di asrama, barak tempat operasi, atau nebeng sama mertua.
          Asabri, sebagai lembaga yang didirikan Dephankam, berkewajiban untuk menyediakan fasilitas tersebut. Sebab, dalam pemikiran Subarda, tugas utama Asabri adalah memberi jaminan kesejahteraan kepada prajurit dan pensiunan TNI dan PNS Hankam.
          Sejak berdiri tahun 1989, Asabri menyandang tugas cukup berat dan kompleks. Sebab, selain melayani pemberian tunjangan pension, Asabri juga berkewajiban memberikan biaya pemakaman serta program perumahan pensiunan ABRI.
Namun, saratnya tugas ternyata belum sepenuhnya ditunjang oleh sarana memadai, khususnya menyangkut sarana kantor. Dari 10 Kodam di Indonesia, waktu itu Asabri baru memiliki satu-dua kantor cabang. Selebihnya menumpang di Kodam-kodam setempat.
          “Saya juga bertekad untuk mendirikan kantor-kantor cabang di berbagai daerah supaya pelayanan Asabri bisa ditingkatkan,” kata Subarda.
          Subarda juga berusaha mempermudah pelayanan dan memangkas birokrasi Asabri. Pemberian santunan pensiun pertama dan biaya  pemakaman, memang tidak menghadapi kendala terlalu rumit. Namun, jumlahnya yang perlu ditingkatkan.
          Hadison, seorang karyawan Asabri, ingat betul bagaimana Subarda memperbaiki pelayanan. Misalnya saja, Subarda meminta layanan tidak dilakukan melalui loket-loket seperti orang antri membeli karcis di bioskop. Dirut Asabri memerintahkan agar layanan dilakukan seperti di bank-bank yang terbuka dan efisien.
          “Asabri itu perusahaan, bukan birokrasi di militer atau pemerintahan. Kita semua adalah pelayanan prajurit dan purnawirawan,” begitu pesan Subarda dalam setiap kali pertemuan dengan staf dan karyawan.

Memperhatikan karyawan
          Edi Purnomo, mantan Asisten Pribadi Subarda sewaktu menjadi Dirut Asabri, mengenang bossnya sebagai pimpinan yang sangat memperhatikan karyawan. Semua karyawan, jumlahnya sekitar 400 orang, mendapat kavling tanah dan perumahan di kawasan Pondek Gede, Bekasi. Pada masa Subarda-lah pertama kali dibangun perumahan untuk karyawan Asabri..
Jumlah seluruhnya hampir 700 kavling terdiri dari berbagai tipe sesuai dengan golongan dan kepangkatan karyawan. Namun, kavling tersebut belum sempat dibangun karena Subarda keburu diberhentikan akibat tersandung kasus Henry Leo.
“Padahal Bapak waktu itu bilang, rumahnya nanti gratis dibangun, tapi gak keburu. Akhirnya karyawan menyicil. Nah, itu sebuah kenangan yang tidak ternilai bagi karyawan sampai saat ini,” kata Edi.
Kenangan lain dari masa kepemimpinan Subarda adalah memberangkatkan haji gratis kepada karyawan dan guru ngaji setiap tahun. Pada setiap musim haji diberangkatkan antara 25 sampai 100 orang.
Selain karyawan, kadang juga diberangkatkan guru ngaji atau penjaga mesjid dari daerah yang benar-benar membutuhkan. Tukang pukul beduk di mesjid dekat tempat tinggal Subarda adalah salah satu yang beruntung bisa naik haji gratis.
“Saya tawari dia karena sampai kapanpun dia nabung tak bakalan bisa jadi haji. Dia dengan isterinya saya berangkatkan. Sampai nangis-nangis, mereka bersyukur. Itulah ibadah saya,” tutur Subarda.
          Dana untuk memberangkatkan haji gratis untuk karyawan dan kaum dhuafa itu didapat dari hasil usaha di luar daripada deposito Asabri.  Caranya, saat membeli saham, misalnya Asabri beli 2 juta lembar, 1 lembar Rp.500. Dalam dua bulan meningkat jadi Rp. 2.800, lalu Asabri beli lagi sekitar 2 sampai 5 juta saham. Disamping jumlah saham yang dibeli Asabri itu, dibeli juga 200.000 sampai 300.000 saham dari uang sendiri untuk kesejahteraan, termasuk untuk program haji gratis itu.
“Kita minta ijin Dephan. Kita laporkan bahwa untuk keperluan kesejahteraan, selain beli lima juta saham dari asabri, kita beli juga 200.000 sampai 300.000 saham. Nah, uang ini yang kita pakai untuk memberangkatkan haji. Karyawan yang nikah, nyunatin, atau kena musibah, kita bantu dari situ,” tutur Subarda.
 Bagi karyawan Asabri seperti Hadison dan Edi, Subarda adalah pimpinan yang berani melakukan terobosan bisnis untuk mencari keuntungan lebih untuk kesejahteraan prajurit dan karyawan Asabri sendiri.
Selama empat tahun di bawah kememimpinan Subarda, Asabri bisa membangun 40.000 unit rumah untuk prajurit dan purnawirawan, mendirikan 10 cabang kantor Asabri di berbagai daerah di Tanah Air, dan memberangkatkan ratusan karyawan berhaji gratis.
Yang lebih penting dari itu adalah prestasi Subarda melipatgandakan asset Asabri dari hanya Rp300 miliar pada 1994 menjadi Rp900 miliar pada 1996. Artinya, selama empat tahun menjabat Dirut Asabri, Subarda mampu mendongkrak tiga kali lipat dana Asabri yang merupakan akumulasi dari iuran yang ditarik dari prajurit dan keuntungan dari usaha. Kalau mau jujur, ini sebuah prestasi yang besar dan luar biasa.
“Jadi, kalau saya menangkap apa yang berkembang di kalangan karyawan, apapun bunyinya di luar terhadap simpang siur tentang keadaan Bapak Subarda, di mata karyawan nama Subarda tetap baik,” kata Edi Purnomo.
“Banyak yang simpati dan percaya kasus yang menimpa Subarda hanyalah akal-akalan dari pihak lain. Seperti itu anggapannya, sampai hari ini, kami masih beranggapan seperti itu,” tambah Hadison, yang aktif di kegiatan kerohanian karyawan Asabri.
          Menurut Hadison yang mengikuti perkembangan kasus Asabri selama sembilan tahun terakhir ini, kasus Asabri yang diberitakan di media massa banyak tidak masuk akal. Diberitakan bahwa pembayaran pensiun PNS dan TNI tersendat. Ini tidak benar, karena selama ini tidak pernah terjadi pembayaran pensiun yang tersendat. Dana yang ada di Asabri lebih dari cukup untuk membayar pension. Jadi sangat tidak mungkin Asabri 'kekurangan' uang.
Kejadian pembobolan uang oleh Henry Leo terjadi pada periode 1994-1995. Uang itu berasal dari BPKPR yang dikelola oleh Asabri, karena BPKPR waktu itu belum berbadan hukum. Asabri sendiri keuangannya baik sebagaimana hasil audit dari Irjen Dephan. Bahkan laporan BPKP pada periode 1994-1996 menyebutkan kondisi keuangan Asabri sebagai sehat sekali.

Banyak prestasi
          Selama periode 1994-1996, Dirut Asabri Subarda Midjaja mempunyai banyak prestasi, di antaranya meningkatkan asset dari Rp300 miliar menjadi Rp900 miliar dengan rate dolar 2200 s/d 2500 dan bunga bank 13 s/d 15 %. Ini merupakan hasil usaha dan kerja keras Subarda.
Asabri juga dapat membuka 10 cabang baru di berbagai kota di Indonesia untuk meningkatkan pelayanan kepada para pensiunan PNS dan TNI. Asabri telah berhasil meningkatkan pelayanan kepada para keluarga pensiunan yang meninggal, dengan memberikan santunan kematian. Biasanya dana santunan tersebut sebesar Rp.350.000,- dengan waktu pengurusan minimal 6 bulan, mulai pada kepemimpinan Subarda, santunan diberikan sebesar Rp. 500.000,- dengan waktu pengurusan maksimal 24 jam.
Bonus bagi para karyawan Asabri yang biasanya hanya Rp.100.000 naik menjadi Rp.3.000.000,- per orang pada masa Subarda. Hal ini, seperti diakui Hadison dan Edi, terjadi karena hasil usaha Asabri pada saat itu dapat berkembang dengan baik.
Sejumlah karyawan yang mengenal dekat pribadi dan prestasi mantan Dirut Asabri sangat menyayangkan jika pribadi sebaik dan selurus Subarda harus dikorbankan untuk kepentingan segelintir orang, baik yang ada didalam tubuh Asabri maupun yang ada di Dephan.
“Kami mendukung sepenuhnya pemberantasan korupsi karena memang hokum harus ditegakkan. Yang salah pasti salah sampai kapanpun juga. Yang benar pasti benar sampai akhir hayat. Kami sebagai karyawan Asabri mendukung siapapun yang benar,” ujar Hadison.
          Ia sangat yakin jika Subarda tidak bersalah dan hanya korban yang dijadikan kambing hitam. Subarda bukanlah orang yang suka makan uang haram dan mengkhianati prajurit.
          “Kalau Bapak Subarda bersalah, hari ini mungkin kami tidak bisa duduk bersama beliau. Kalau terbukti korupsi, tentu beliau sudah di penjara,” kata Hadison yang merasa senang mantan bossnya itu hadir pada peringatan HUT Asabri bulan Agustus 2006 yang lalu.
          Apalagi, Subarda yang kelihatan tetap bugar dan awet muda itu, sempat bicara di podium resmi yang dihadiri Dirut Asabri Tabri dan Lisno, mantan pejabat yang menggantikan Subarda.
          “Saya curhat disitu,” kenang Subarda.
          Subarda meminta diberi kesempatan bicara karena ia sangat kecewa dalam pemaparan sejarah dan prestasi Asabri, periode 1994-1997 dikosongkan. Seolah-olah periode masa jabatannya di Asabri dihapus dan dianggap tidak ada.
          “Seolah-olah saya ini najis,” ujarnya meradang.
          Iapun menggugat pengosongan prestasinya di Asabri, karena terlepas dari kasus Henry Leo, Subarda merasa sudah berbuat banyak untuk kemaslahatan prajurit dan Asabri.  
          Subarda menceritakan bahwa dirinya kini tidak bisa berdiam diri lagi. Setelah sembilan tahun loyal untuk tidak bicara, ia telah memutuskan untuk membongkar semuanya. Jika terus diobok-obok, ia akan melawan siapapun. Ia akan menggugat secara hokum pihak-pihak yang mendiskreditkan dan memfitnah dirinya. Ia akan mengadukan kasusnya ke DPR dan Presiden RI.
          Usai menyampaikan kegalauan hatinya secara resmi di podium, Subarda mendapat sambutan dan simpati para karyawan Asabri.
          “Mereka bilang bagus, Pak. Lalu minta foto bersama saya. Rasanya waktu itu saya seperti selebriti. Disalami, dipeluk, dan dimintai foto,” kenang Subarda.
         
 



1 komentar: