Selasa, 02 Agustus 2011

Bab 1 : Sendok Perak Sejak Bayi


Pengalaman masa kecil dan cara pengasuhan di masa anak-anak sangat menentukan karakter orang di masa depan. Sifat dan perangai manusia ditentukan oleh masa kanak-kanaknya. Orang Inggris mengatakan “No man is an island”. Orang Sunda bilang “Tidak ujug-ujug”. Semua ada purwadaksinya. 
Subarda yang pada puncak kariernya dikenal sebagai “Jenderal Pengusaha” tentu tidak berdiri dengan sendirinya. Subarda lahir di Sukabumi, 6 Januari 1939, dari keluarga ningrat Dalem Kaum Bandung. Sejak kecil sudah terbiasa hidup berkecukupan. Semasa bayipun sudah “disuapi dengan sendok perak”. Artinya, lahir dari keluarga berada.
Ayahnya, Sudarma Midjaya, adalah pegawai di Bank Rakyat zaman Belanda dan pada masa kemerdekaan menjadi Kepala Perpustakaan di Kantor Gubernur Jawa Barat. Ibunya, Hj. Sutarsih, Menteri Guru Sekolah Wanita  dan satu angkatan dengan Raden Dewi Sartika, tokoh perempuan pergerakan di Jawa Barat.
Meski sibuk sebagai Kepala Sekolah, Hj. Sutarsih mempunyai naluri bisnis yang lumayan tinggi. Ia suka jual beli emas, sering datang ke pegadaian mencari barang-barang yang jatuh tempo yang mau dilelang, membeli rumah bekas untuk diperbaiki lalu dijual kembali.
Atas pengabdian dan jasanya sebagai guru dan jiwa wirausahanya, Hj. Sutarsih merupakan satu-satunya wanita Priangan yang mendapat bintang dari pemerintah Belanda.
Subarda terlahir sebagai bungsu dari tiga bersaudara. Kebetulan laki-laki semua. Dua kakaknya, sudah almarhum. Kasrifin Sudarma Midjaya, si sulung yang menjadi kapten pilot penerbang Garuda Indonesia, wafat tahun 2003. Ratuli Sudarma Midjaya, kakak nomor dua, tokoh pariwisata nasional, meninggal dunia tahun 1985. 
Belajar berbisnis secara alamiah dari kedua orang tuanya, Subarda kecil tumbuh menjadi seorang pengusaha yang jenderal atau jenderal yang pengusaha. Terakhir, ia menjabat Direktur Utama Asabri (1994-1997).
           Subarda menghabiskan masa kecil dan remajanya di Bandung dan Sukabumi. Ia lulus SD Lengkong Utan tahun 1952, SMP 4 Bandung tahun ...., SMA 3 di Jalan Belitung Bandung tahun 1958.
          Mohamad Sulaeman, teman SMA Subarda, mengatakan sahabatnya itu tidak pernah susah atau pun berkeluh kesah. Mungkin secara materi tidak ada masalah. Maklum, dia anak orang kaya, sawahnya banyak. Dia juga tidak pelit. Dia suka mentraktir teman-temannya, termasuk Sulaeman.
Mungkin karena selalu tercukupi kebutuhannya, Subarda sejak remaja pun dikenal sebagai orang yang murah hati. Suka menolong. Subarda gampang jatuh simpati pada siapa saja yang kesusahan. Tak pernah berburuk sangka. Ia percaya semua orang itu baik sampai terbukti sebaliknya. Kalau dikhianati atau ditipu, Subarda baru tidak akan mempercayai orang itu sampai mati.
“Itulah karakter Subarda yang saya kenal sejak kecil,” kata Sulaeman yang rumah orangtuanya bertetangga dengan keluarga Subarda.
          Sulaeman juga mengenal Subarda sebagai sahabat sejati. Orangnya baik, bicara Sundanya halus. Mereka sering mengerjakan PR bersama atau main bola bareng. Kadang-kadang juga bolos sekolah demi nonton bioskop dekat alun-alun kota Bandung.
           Sejak remaja, Subarda sudah keranjingan nonton film. Kalau sudah ada film yang dibintangi Marlon Brando, idolanya, pasti mereka bolos.
         “Film bagus nih. Kalau tidak nonton sekarang, bisa jadi besok sudah ganti film lain,” kata Subarda membujuk teman-temannya untuk nonton bareng.
         Di mata Sulaeman, sosok Subarda saat SMA biasa-biasa saja alias tidak terlalu menonjol di bidang pelajaran. Justru yang sangat menonjol di diri dia adalah jiwa seninya. Subarda suka mengambar dan rajin belajar tari Sunda di dekat rumahnya.
“Dia belajar tari Ketuk Tilu dan Jaipongan. Dia sangat terampil menarikan tarian tersebut. Kalau sudah dengar bunyi gendang, asoy geboy deh,” cerita Sulaeman sambil tertawa.

Tak mimpi jadi tentara
          Selepas SMA tahun 1959, Subarda masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran. Ia memang pernah bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, kuliah di Fakultas Kedokteran bukan hal yang murah. Buku-buku pelajaran dan alat-alat praktek sangat mahal. Padahal, orang tuanya memasuki masa pensiun.
          Meski ayah ibunya berjanji sebisanya membiayai kuliah di Fakultas Kedokteran, Subarda tidak ingin merepotkan orangtuanya. Satu tahun belajar kedokteran di Unpad, ia mengundurkan diri. Subarda rela mengubur cita-cita menjadi dokter, dan mencari pendidikan lain yang tak membenani orang tuanya. Mendaftarlah dia ke Akademi Militer Nasional (AMN).
          Subarda tak pernah bermimpi jadi tentara. Ia tertarik masuk AMN karena sering melihat iklan AMN yang diputar di bioskop dan melihat taruna jalan-jalan dengan seragam militer yang gagah. Lebih dari itu, menjadi taruna AMN tidak perlu bayar. Alias gratis.
Secara kebetulan, Subarda dan Sulaeman sama-sama mau mengikuti testing dan psikotes.  “Kamu ikut-ikutan saja mendaftar AMN,” canda Sulaeman kepada Subarda. Dia pun balas menjawab, “Kamu yang ikut-ikutan,”. Kedua sahabat itu tertawa bersama.
“Mudah-mudahan kita diterima,” kata Sulaeman.
Alhamdulillah, keduanya diterima di AMN.  Berangkatkah mereka ke Lembah Tidar Magelang untuk digembleng menjadi prajurit professional. Mereka berangkat dengan kereta api. Sepanjang perjalanan sibuk mematut-matut diri, “Apakah saya pantas jadi serdadu?”.
Ia tahu pasti, kehidupan tentara sangat keras. Sedang ia sendiri sadar bahwa dirinya berjiwa lembut dan kurang suka kekerasan. Satu-satunya kekerasan yang ia sukai adalah di film.
Ia senang menonton film koboi, terutama kalau dibintangi oleh Marlon Brando atau si botak Telly Savalas. Ia suka adegan tembak-tembakan. Tapi hanya di film. Dalam kehidupan nyata, berantem dengan teman di sekolah pun belum pernah.
Tadinya sedikit gamang. Dunia militer bukanlah dunianya. Tapi, sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Jika harus memilih jadi taruna atau penganggur, tentu pilihannya adalah yang pertama. Sampai di stasiun Tugu, Semarang, tekad Subarda menjadi tentara sudah bulat. Ia tak ragu lagi.
“Yang terjadi terjadilah. Mungkin garis hidup saya harus jadi prajurit,” katanya dalam hati.
Maka dengan suka cita dan semangat membara, ia pun memasuki pintu gerbang AMN. Begitu juga ketika lulus tiga tahun kemudian, ia keluar dari gerbang AMN tahun 1962 dengan riang gembira menyongsong karier militernya yang terbuka. Semua orang tahu, perwira-perwira muda lulusan AMN adalah calon-calon pimpinan TNI di masa depan. Banyak juga yang kemudian menjadi pimpinan daerah dan nasional.
Jika mengingat-ingat kembali kehidupannya sebagai taruna, maka masa-masa perpeloncoan merupakan saat-saat yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh Subarda.
          Hari-hari pertama di Lembah Tidar betul-betul mendebarkan. Masuk ke lapangan sepakbola, dijanjikan menonton pertandingan bersama “cewek-cewek cantik”. Tidak tahunya, semua calon prajurit taruna dibombardir dengan tembakan dan ledakan.
Subarda dan kawan-kawan terjungkal dan mandi lumpur. Ia harus merayap supaya tidak terkena tembakan. Salah-salah, ketika merangkak itupun dia diinjak oleh seniornya yang bersepatu lars.
          “Sebagai prajurit, kalian harus terbiasa dengan situasi perang. Kalian harus bisa lolos dari serbuan udara dan tembakan seperti ini,” teriak senior yang memelonconya.
          Semua calon prajurit taruna diplonco habis-habisan. Mereka dikenalkan dengan gemblengan fisik yang keras tanpa makanan dan minuman yang cukup. Dunia tentara memang dunia kekerasan. Prajurit dilatih untuk survive dan memenangkan perang.
          Pernah Subarda dimasukan ke dalam sebuah drum besar bekas minyak atau aspal.
          “Kau belum pernah naik mobil Mercy? Sekarang naiklah!” kata instruktur sambil menendang drum itu dari atas bukit. Maka drum berisi tubuh Subarda pun meluncur dan menggelontor dari puncak bukit sampai ke sawah.
          “Badan saya sampai lecet dan luka-luka semua. Berat sekali latihannya,” kenang Subarda getir.
          Tapi bukan hanya kegetiran saja yang dialami Subarda selama dalam kawah candradimuka. Hal-hal yang menyenangkan dan kenangan juga banyak dia alami. Misalnya saja, ia selalu tersenyum ketika mengingat mengapa senior suka memanggilnya sebagai “Swike”.
          “Mungkin karena tubuh saya yang putih mulus mirip kodok swike yang baru dikuliti,” katanya sambil tersenyum.
          Ia juga tidak tahu mengapa pula ia diberi nama suci “Demit”.
          “Mungkin karena postur tubuh saya yang besar seperti dedemit. Mungkin juga karena tampang saya menakutkan. Saya tidak tahu persis,” katanya.
          Demit atau swike, Subarda tidak ambil pusing benar. Yang jelas, disamping latihan fisik dan teknik militer yang keras, Subarda toh masih bisa mengembangkan bakat seninya di AMN. Buktinya, dia bisa aktif di kegiatan drumd band.
          “Saya masuk drumband AMN dari tingkat satu hingga tingkat tiga. Saat kelas tiga, saya bahkan menjadi komandan drumband atau mayoret,” katanya tersenyum bangga.
          Menjadi komandan atau mayoret di AMN tidak sembarang taruna bisa. Mereka harus melalui psikotes lebih dulu, selain mempunyai nilai akademik yang baik dan mental yang bagus. Subarda seperti tak kenal lelah, kalau berlatih drumd band. Saat sebagian teman-teman istirahat, dia terus memainkan tongkat mayoretnya.
“Saya menilai dia tahan banting dan tekun,” kenang Sulaeman.
          Oleh karena perangainya yang halus dan bakat seninya yang tinggi, saat menjadi taruna, perwira, atau jenderal sekalipun, Subarda tidak pernah menunjukkan kebengisan tentara.
          Dalam kecabangan pun, Subarda tidak masuk ke tentara yang disiapkan untuk berperang di garis depan. Ia bersama sahabat karibnya, Sulaerman, bergabung dengan Artileri Medan (Armed). 
“Itu karena nilai Ilmu Pasti saya yang bagus,” kata Subarda.
Lulusan taruna yang nilai Ilmu Pastinya bagus kebanyakan masuk Armed. Pasalnya, kalau menembakkan meriam, itu kan harus pakai hitung-hitungan yang rumit.
          Bagi yang masuk Armed, pendidikan kecabangannya ditempatkan di Cimahi selama enam bulan. Sedang bagi yang ditempatkan di Kaveleri, pusat pendidikannya ada di Cikado Bangkong. Infanteri pusat pendidikannnya ada di Jalan Supratman. Sedang Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) di Malang.

Jadi fotografer keliling
          Setelah mengikuti pendidikan kecabangan itu, Subarda ditempatkan di Batalion Armed IV Cimahi, Kodam Siliwangi, dengan pangkat Letnan Dua. Di luar jam dinas, Subarda masih sempat  mengembangkan bakat bisnisnya.
Untuk cari tambahan penghasilan, ia menjadi juru foto keliling. Dengan menenteng sebuah kamera, dia keluar masuk kampung. Kadang dia naik sepeda, kadang pula naik mobil jeep ges. Dia juga mendidik beberapa kopral, anak buahnya, bagaimana menjadi fotografer yang baik. Jadilah para kopral itu tukang foto keliling.
“Saya lalu buka studio cuci cetak foto. Kopral-kopral yang potret keliling, saya yang afdruk, saya yang terima duit,” katanya.
Ide usaha cuci cetak tersebut di dapat karena kaum remaja masa itu sangat gandrung dengan foto hitam-putih. Ia mengaku, gaji pokoknya waktu itu hanya cukup untuk membeli tiga kaleng susu anaknya.
Pada periode sulit itu dirinya terus disokong secara materi oleh orang tua selama beberapa tahun. Namun, rasanya tidak enak kalau merepotkan terus orang tuanya. Ia membuka studio cuci cetak foto itu supaya bisa menghidupi diri dan keluarganya secara mandiri.
          “Lumayanlah…, dengan usaha itu saya tidak minta-minta tambahan uang lagi dari orangtua,” katanya.
          Selain potret memotret, hobby nonton bioskop juga menjadi inspirasi bagi Subarda untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Ada tetangganya yang suka menyewakan film-film untuk diputar di bioskop-bioskop. Subarda menyewa sejumlah film untuk diputar di berbagai daerah di Jawa Barat.
          ”Satu kaset film semalam diputar di tiga gedung bioskop dengan jangka waktu yang berbeda. Jadi setiap malam kita keliling ke gedung-gedung bioskop. Pagi hari kita kerja biasa dan memesan film lain untuk daerah lain,” cerita Subarda.
          Atas izin atasannya, Subarda juga memimpin usaha jual beli kacang ijo. Dengan  memanfaatkan kendaraan batalyon, Subarda membeli kacang ijo dari Jatiwangi. Lalu di angkut ke Bandung untuk dijual di pasar Gambir. Begitulah cara Subarda ”ngobyek”  untuk kepentingan anggota batalionnya.
Ada cerita lucu terjadi. Suatu ketika Subarda membeli tiga truk kacang ijo. Perjalanan dari Jatiwangi ke Bandung hujan besar, sementara penutup truknya kurang baik terpalnya. Sampai di Pasar Gambir pembelinya tidak mau beli karena kacang ijonya basah kuyup. Terpaksa truk dibawa ke batalyon dan parkir semalam di sana.
”Tau tau paginya sudah jadi toge. Akhirnya yang senang anggota. Kita bagikan saja toge itu di asrama,” kenang Subarda mengenai suka dukanya di Batalion IV Artileri Medan Parahiangan antara tahun 1964-1965.
Setelah peristiwa Gerakan 30 September PKI, batalion Subarda ikut dalam operasi penumpasan komunis. Baru setelah itu, Subarda aktif lagi dengan bisnisnya. Ia menyewakan motor boat untuk para nelayan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Nelayan cari ikan dengan motor boat Subarda. Bensinnya ditanggung nelayan dan hasil tangkapan dibagi dua.
”Lumayan. Dapur keluarga tambah mengepul,” katanya tentang keuntungan dari bisnis sewa menyewa motor boat tersebut.
 Sampai pangkat kolonel pun, Subarda tidak lupa berbisnis.
”Saya pernah jualan sapi dari Mataram ke Jakarta,” kenangnya.
Ia membeli sapi dari Mataram dan menyewa satu atau dua gerbong kereta api untuk dibawa ke Jakarta. Ketika diurus sendiri, bisnis sapi untungnya besar. Tapi ketika menyuruh orang lain, tidak pernah sukses.
Hal ini karena beratnya dari Mataram mungkin 100 kg per satu sapi. Sepanjang perjalanan si sapi dikasih makan yang cukup, sehingga kalau pun beratnya susut hanya sekitar 5 kg. Tapi seandainya orang lain yang urus, sampai di Jakarta susutnya sampai 20 kg. Akhirnya untungnya itu tidak ada karena perbedaan harga akibat berat badan sapi yang merosot.
Ada orang pintar yang ngomong ke Subarda. Ia mengatakan, ”Pak kalau usaha, jangan yang bernyawa. Kalau bapak usaha yang bernyawa, nanti nyawa bapak juga habis”.
Akhirnya bisnis sapi berhenti. Lalu Subarda menekuni bisnis yang tidak bernyawa. Banyak bisnis yang ditekuninya. Mulai dari batu granit, produk kosmetik, biro perjalanan, real estates, sampai waterparks. Teman-teman Subarda yang satu lichting  mengenalnya sebagai tentara yang pandai berbisnis.  
Riwayat karier militer Subarda lebih banyak terkait dengan masalah pembinaan personil dan pendidikan. Ia pernah menjadi guru militer. Pernah juga menjadi Asisten Personil Kodam Udayana saat Pangdamnya Letjen Dading Kalbuadi. Dading adalah komandan utama operasi di Timor Timur dan Subarda bertanggungjawab untuk mengurus personil yang bertugas di Timor Timur antara 1981-1984.
”Saya asisten personil Pak Dading dan saya ngurusin manusia-manusia satuan elit,” kata Subarda.
 Dari Kodam Udayana, Subarda terus ke Mabes ABRI. Ia menjadi Direktur Pembinaan di Departemen Pertahanan dan Keamanan. Lalu dipindah ke Bandung menjadi Wakil Komandan Seskoad mendampingi Feisal Tanjung sebagai komandannya.
 Subarda mendapat bintang dua ketika menjadi Komandan Pusat Penerimaan Pendidikan dan Latihan TNI AD tahun 1993. Tak lama kemudian diangkat menjadi Direktur Kodiklat tahun 1994 sebelum pensiun.  



Bab 2 : Dirut Asabri Yang Berani



            Subarda mempersiapkan masa pensiun dengan sukacita. Ia sudah mereka-reka macam apa kehidupannya di hari tua. Mengurus bisnis sesekali, meluangkan waktu lebih banyak buat keluarga, menekuni ibadah dan amaliah, serta mengabdi kepada kegiatan sosial. Alangkah indahnya menghabiskan sisa hidup seperti itu.
          Setelah lebih 30 tahun malang melintang dalam karier militernya, kini saatnya untuk beristirahat dan menikmati hidup sebagai orang bebas. Setelah meniti setapak demi setapak, perjalanan karier militernya tidak terlalu buruk. Bahkan cukup bagus dibanding teman-temannya.
Ia berhasil mencapai pangkat Mayor Jenderal dengan jabatan terakhir Komandan Pusat Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat. Padahal, tidak semua Angkatan AMN 62 bisa mendapat bintang dua. Kebanyakan purnabakti dengan pangkat Letnan Kolonel atau Kolonel.
          Subarda bersyukur bisa menyelesaikan tugas militernya dengan mulus tanpa cacat. Untuk loyalitas dan pengabdiannya di Angkatan Darat, Subarda mendapatkan Bintang Pratama. Meskipun tidak pernah bermimpi jadi serdadu, toh terbukti Subarda bisa menjadi tentara sejati. Mayor Jenderal lagi. Sambil menunggu persiapan pension, Subarda “diparkir” sebagai Perwira Tinggi (Pati) di Mabes TNI.
          Ia tidak menyangka kalau namanya sedang diusulkan oleh Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) TNI untuk menduduki jabatan Dirut Asabri selepas purnabakti.
Memang ada rumor yang menyebut-nyebut dirinya sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan penting di perusahaan atau yayasan milik TNI. Bahkan, I Gde Manila, rekannya dari Mabes TNI, berulangkali mengatakan agar ia mempersiapkan diri sebagai calon Dirut Asabri.
          “Siap siap ya…,” kata Manila.
          “Siap siap apa?” tanya Subarda.
          “You dicalonkan untuk jadi Dirut Asabri,” jawab Manila.
          Subarda menanggapinya setengah percaya setengah tidak. Kolonel (Purn) Sulaeman, teman satu angkatan di AMN 1962, mengatakan Subarda tidak punya keinginan yang menggebu, apalagi bersambisi, untuk menjadi Dirut Asabri, meski orang lain banyak yang mau. Tapi, Sulaeman mengakui jika Subarda santer disebut-sebut mau ditempatkan sebagai Dirut Asabri setelah pensiun. Subarda harus bersaing dengan sejumlah nama lainnya.
          “Sulaiman, doakan saya agar bisa berhasil menjadi Dirut Asabri ya… Tapi, untuk menuju ke sana banyak nominasi nih. Beratlah,” kata Sulaiman menirukan ucapan Subarda kala itu.
Sebagai teman satu angkatan dan satu SMA di Bandung, Sulaeman ikut mendoakan Subarda. “Kalau Tuhan meridhoi dan itu jalan dari Allah, Insya Allah kamu akan jadi. Sebaliknya, jika tidak jadi, terimalah dengan lapang dada,” pesan Sulaeman.
Sulaeman saat itu sudah yakin jika pencalonan Subarda menjadi Dirut Asabri pasti jadi. Keyakinan itu karena Subarda dikenal dekat dengan Panglima TNI Feisal Tanjung. Saat Subarda menjadi Wadan Seskoad, Faisal Tandjung adalah komandannya.
“Peluangmu cukup bagus. Feisal Tandjung dulu itu kan panglimamu?” kata Sulaeman mencoba meyakinkan Subarda. “Masak sih tidak jadi?”
“Ah, belum tentu,” jawab Subardja merendah.
Subarda memang hanya bisa menunggu tugas saja. Dia bukan tipe peminta-minta jabatan. Lagipula, kalaupun tidak jadi Dirut Asabri, ia sudah menyiapkan diri bagaimana menikmati masa pensiunnya.
          Tapi rupanya isu pencalonannya sebagai Dirut Asabri bukan isapan jempol belaka. Pada 8 Januari 1994 berdasarkan Keputusan Presiden No.02/ABRI/1994 Subarda diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan dengan hak pension. Tak lama kemudian, pada 17 Februari 1994 dengan SK Menhankam No. Skep/138/II/1994, Subarda diangkat menjadi Dirut Asabri.
          Begitulah. Rupanya negara dan TNI masih membutuhkannya untuk berkiprah. Subarda merelakan impiannya untuk hidup merdeka sebagai pensiunan ditunda untuk beberapa tahun lagi. Sebagai prajurit, ia pantang menolak tugas yang diberikan kepadanya.

Punya naluri bisnis
          Sejumlah orang berpendapat pengangkatan Subarda sebagai Dirut Asabri terkait dengan kedekatannya dengan Jenderal Feisal Tanjung, Panglima TNI waktu itu. Sewaktu Subarda menjabat Wadan Seskoad, Feisal Tanjung adalah Komandan Seskoad. Jadi memang keduanya punya hubungan dekat. Apalagi ketika itu bakat bisnis Subarda terlihat dengan mencolok. Ia sukses menjadi pimpinan proyek pembangunan rumah tamtama dan bintara di Bandung.
          “Tapi tidak benar kalau saya anak emas Jenderal Feisal Tanjung,” kata Subarda.
          Yang jelas, sebagai jenderal yang dikenal punya naluri bisnis, Subarda dianggap paling pas untuk memimpin Asabri. Ia mengalahkan kandidat lainnya.
Yang pertama kali dilakukan Subarda pada jabatan barunya adalah dengan cepat mempelajari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Asabri.
PT Asabri sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No.44 tahun 1971 jo PP No.67 tahun 1991, diberi kewenangan untuk melaksanakan kegiatan usaha Asuransi Sosial di lingkungan Dephan, TNI dan Polri. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Asabri berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada peserta dalam bentuk pemberian santunan.
Asabri bersama dengan Badan Pengelola Kesejahteraan Perumahan Prajurit (BPKPP) memberikan Bantuan Uang Muka Kredit Kepemilikan Rumah (BUM KPR) kepada prajurit yang pengembaliannya dikompensasikan dengan hak santunan peserta Asabri pada saat peserta menerima santunan.  
          Sumber keuangan Asabri dan BPKPP berasal dari potongan 10% dari gaji pokok prajurit. Perinciannya 4,25% untuk perumahan, 3,75% untuk santunan pension, dan 2% untuk asuransi kesehatan.  Pada waktu Subarda masuk ke Asabri menggantikan Letjen (Purn) Tjok Swastika, dana yang dikelola Asabri baru sekitar Rp300 milyar. Sedangkan untuk Dana Pensiun sebanyak Rp175 milyar.
          Setelah mengetahui Tupoksi Asabri dan jumlah dana yang dikelolanya, Subarda mulai menyusun program-program, target dan strategi pencapaiannya. Ia putar otak bagaimana membesarkan jumlah uang Asabri demi digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan prajurit. Ia bertekad untuk membangun 10.000 rumah prajurit pertahun!
          Subarda sangat prihatin sebagian besar pensiunan TNI serta PNS yang bertugas di lingkungan Departemen Hankam, tidak memiliki rumah. Sebab, sewaktu masih dinas aktif mereka umumnya tinggal di asrama yang disediakan angkatan.
Target membangun 10.000 rumah ini maksimum yang bisa dilakukan Asabri. Padahal, kebutuhan perumahan prajurit dan purnawirawan jauh lebih besar dari itu. Dari sekitar 3 juta personil TNI dan purnawirawan waktu itu, hanya 1-2% saja yang memiliki rumah. Yang lain tinggal di asrama, barak tempat operasi, atau nebeng sama mertua.
          Asabri, sebagai lembaga yang didirikan Dephankam, berkewajiban untuk menyediakan fasilitas tersebut. Sebab, dalam pemikiran Subarda, tugas utama Asabri adalah memberi jaminan kesejahteraan kepada prajurit dan pensiunan TNI dan PNS Hankam.
          Sejak berdiri tahun 1989, Asabri menyandang tugas cukup berat dan kompleks. Sebab, selain melayani pemberian tunjangan pension, Asabri juga berkewajiban memberikan biaya pemakaman serta program perumahan pensiunan ABRI.
Namun, saratnya tugas ternyata belum sepenuhnya ditunjang oleh sarana memadai, khususnya menyangkut sarana kantor. Dari 10 Kodam di Indonesia, waktu itu Asabri baru memiliki satu-dua kantor cabang. Selebihnya menumpang di Kodam-kodam setempat.
          “Saya juga bertekad untuk mendirikan kantor-kantor cabang di berbagai daerah supaya pelayanan Asabri bisa ditingkatkan,” kata Subarda.
          Subarda juga berusaha mempermudah pelayanan dan memangkas birokrasi Asabri. Pemberian santunan pensiun pertama dan biaya  pemakaman, memang tidak menghadapi kendala terlalu rumit. Namun, jumlahnya yang perlu ditingkatkan.
          Hadison, seorang karyawan Asabri, ingat betul bagaimana Subarda memperbaiki pelayanan. Misalnya saja, Subarda meminta layanan tidak dilakukan melalui loket-loket seperti orang antri membeli karcis di bioskop. Dirut Asabri memerintahkan agar layanan dilakukan seperti di bank-bank yang terbuka dan efisien.
          “Asabri itu perusahaan, bukan birokrasi di militer atau pemerintahan. Kita semua adalah pelayanan prajurit dan purnawirawan,” begitu pesan Subarda dalam setiap kali pertemuan dengan staf dan karyawan.

Memperhatikan karyawan
          Edi Purnomo, mantan Asisten Pribadi Subarda sewaktu menjadi Dirut Asabri, mengenang bossnya sebagai pimpinan yang sangat memperhatikan karyawan. Semua karyawan, jumlahnya sekitar 400 orang, mendapat kavling tanah dan perumahan di kawasan Pondek Gede, Bekasi. Pada masa Subarda-lah pertama kali dibangun perumahan untuk karyawan Asabri..
Jumlah seluruhnya hampir 700 kavling terdiri dari berbagai tipe sesuai dengan golongan dan kepangkatan karyawan. Namun, kavling tersebut belum sempat dibangun karena Subarda keburu diberhentikan akibat tersandung kasus Henry Leo.
“Padahal Bapak waktu itu bilang, rumahnya nanti gratis dibangun, tapi gak keburu. Akhirnya karyawan menyicil. Nah, itu sebuah kenangan yang tidak ternilai bagi karyawan sampai saat ini,” kata Edi.
Kenangan lain dari masa kepemimpinan Subarda adalah memberangkatkan haji gratis kepada karyawan dan guru ngaji setiap tahun. Pada setiap musim haji diberangkatkan antara 25 sampai 100 orang.
Selain karyawan, kadang juga diberangkatkan guru ngaji atau penjaga mesjid dari daerah yang benar-benar membutuhkan. Tukang pukul beduk di mesjid dekat tempat tinggal Subarda adalah salah satu yang beruntung bisa naik haji gratis.
“Saya tawari dia karena sampai kapanpun dia nabung tak bakalan bisa jadi haji. Dia dengan isterinya saya berangkatkan. Sampai nangis-nangis, mereka bersyukur. Itulah ibadah saya,” tutur Subarda.
          Dana untuk memberangkatkan haji gratis untuk karyawan dan kaum dhuafa itu didapat dari hasil usaha di luar daripada deposito Asabri.  Caranya, saat membeli saham, misalnya Asabri beli 2 juta lembar, 1 lembar Rp.500. Dalam dua bulan meningkat jadi Rp. 2.800, lalu Asabri beli lagi sekitar 2 sampai 5 juta saham. Disamping jumlah saham yang dibeli Asabri itu, dibeli juga 200.000 sampai 300.000 saham dari uang sendiri untuk kesejahteraan, termasuk untuk program haji gratis itu.
“Kita minta ijin Dephan. Kita laporkan bahwa untuk keperluan kesejahteraan, selain beli lima juta saham dari asabri, kita beli juga 200.000 sampai 300.000 saham. Nah, uang ini yang kita pakai untuk memberangkatkan haji. Karyawan yang nikah, nyunatin, atau kena musibah, kita bantu dari situ,” tutur Subarda.
 Bagi karyawan Asabri seperti Hadison dan Edi, Subarda adalah pimpinan yang berani melakukan terobosan bisnis untuk mencari keuntungan lebih untuk kesejahteraan prajurit dan karyawan Asabri sendiri.
Selama empat tahun di bawah kememimpinan Subarda, Asabri bisa membangun 40.000 unit rumah untuk prajurit dan purnawirawan, mendirikan 10 cabang kantor Asabri di berbagai daerah di Tanah Air, dan memberangkatkan ratusan karyawan berhaji gratis.
Yang lebih penting dari itu adalah prestasi Subarda melipatgandakan asset Asabri dari hanya Rp300 miliar pada 1994 menjadi Rp900 miliar pada 1996. Artinya, selama empat tahun menjabat Dirut Asabri, Subarda mampu mendongkrak tiga kali lipat dana Asabri yang merupakan akumulasi dari iuran yang ditarik dari prajurit dan keuntungan dari usaha. Kalau mau jujur, ini sebuah prestasi yang besar dan luar biasa.
“Jadi, kalau saya menangkap apa yang berkembang di kalangan karyawan, apapun bunyinya di luar terhadap simpang siur tentang keadaan Bapak Subarda, di mata karyawan nama Subarda tetap baik,” kata Edi Purnomo.
“Banyak yang simpati dan percaya kasus yang menimpa Subarda hanyalah akal-akalan dari pihak lain. Seperti itu anggapannya, sampai hari ini, kami masih beranggapan seperti itu,” tambah Hadison, yang aktif di kegiatan kerohanian karyawan Asabri.
          Menurut Hadison yang mengikuti perkembangan kasus Asabri selama sembilan tahun terakhir ini, kasus Asabri yang diberitakan di media massa banyak tidak masuk akal. Diberitakan bahwa pembayaran pensiun PNS dan TNI tersendat. Ini tidak benar, karena selama ini tidak pernah terjadi pembayaran pensiun yang tersendat. Dana yang ada di Asabri lebih dari cukup untuk membayar pension. Jadi sangat tidak mungkin Asabri 'kekurangan' uang.
Kejadian pembobolan uang oleh Henry Leo terjadi pada periode 1994-1995. Uang itu berasal dari BPKPR yang dikelola oleh Asabri, karena BPKPR waktu itu belum berbadan hukum. Asabri sendiri keuangannya baik sebagaimana hasil audit dari Irjen Dephan. Bahkan laporan BPKP pada periode 1994-1996 menyebutkan kondisi keuangan Asabri sebagai sehat sekali.

Banyak prestasi
          Selama periode 1994-1996, Dirut Asabri Subarda Midjaja mempunyai banyak prestasi, di antaranya meningkatkan asset dari Rp300 miliar menjadi Rp900 miliar dengan rate dolar 2200 s/d 2500 dan bunga bank 13 s/d 15 %. Ini merupakan hasil usaha dan kerja keras Subarda.
Asabri juga dapat membuka 10 cabang baru di berbagai kota di Indonesia untuk meningkatkan pelayanan kepada para pensiunan PNS dan TNI. Asabri telah berhasil meningkatkan pelayanan kepada para keluarga pensiunan yang meninggal, dengan memberikan santunan kematian. Biasanya dana santunan tersebut sebesar Rp.350.000,- dengan waktu pengurusan minimal 6 bulan, mulai pada kepemimpinan Subarda, santunan diberikan sebesar Rp. 500.000,- dengan waktu pengurusan maksimal 24 jam.
Bonus bagi para karyawan Asabri yang biasanya hanya Rp.100.000 naik menjadi Rp.3.000.000,- per orang pada masa Subarda. Hal ini, seperti diakui Hadison dan Edi, terjadi karena hasil usaha Asabri pada saat itu dapat berkembang dengan baik.
Sejumlah karyawan yang mengenal dekat pribadi dan prestasi mantan Dirut Asabri sangat menyayangkan jika pribadi sebaik dan selurus Subarda harus dikorbankan untuk kepentingan segelintir orang, baik yang ada didalam tubuh Asabri maupun yang ada di Dephan.
“Kami mendukung sepenuhnya pemberantasan korupsi karena memang hokum harus ditegakkan. Yang salah pasti salah sampai kapanpun juga. Yang benar pasti benar sampai akhir hayat. Kami sebagai karyawan Asabri mendukung siapapun yang benar,” ujar Hadison.
          Ia sangat yakin jika Subarda tidak bersalah dan hanya korban yang dijadikan kambing hitam. Subarda bukanlah orang yang suka makan uang haram dan mengkhianati prajurit.
          “Kalau Bapak Subarda bersalah, hari ini mungkin kami tidak bisa duduk bersama beliau. Kalau terbukti korupsi, tentu beliau sudah di penjara,” kata Hadison yang merasa senang mantan bossnya itu hadir pada peringatan HUT Asabri bulan Agustus 2006 yang lalu.
          Apalagi, Subarda yang kelihatan tetap bugar dan awet muda itu, sempat bicara di podium resmi yang dihadiri Dirut Asabri Tabri dan Lisno, mantan pejabat yang menggantikan Subarda.
          “Saya curhat disitu,” kenang Subarda.
          Subarda meminta diberi kesempatan bicara karena ia sangat kecewa dalam pemaparan sejarah dan prestasi Asabri, periode 1994-1997 dikosongkan. Seolah-olah periode masa jabatannya di Asabri dihapus dan dianggap tidak ada.
          “Seolah-olah saya ini najis,” ujarnya meradang.
          Iapun menggugat pengosongan prestasinya di Asabri, karena terlepas dari kasus Henry Leo, Subarda merasa sudah berbuat banyak untuk kemaslahatan prajurit dan Asabri.  
          Subarda menceritakan bahwa dirinya kini tidak bisa berdiam diri lagi. Setelah sembilan tahun loyal untuk tidak bicara, ia telah memutuskan untuk membongkar semuanya. Jika terus diobok-obok, ia akan melawan siapapun. Ia akan menggugat secara hokum pihak-pihak yang mendiskreditkan dan memfitnah dirinya. Ia akan mengadukan kasusnya ke DPR dan Presiden RI.
          Usai menyampaikan kegalauan hatinya secara resmi di podium, Subarda mendapat sambutan dan simpati para karyawan Asabri.
          “Mereka bilang bagus, Pak. Lalu minta foto bersama saya. Rasanya waktu itu saya seperti selebriti. Disalami, dipeluk, dan dimintai foto,” kenang Subarda.
         
 



Bab 3 : Lolos Dari Badai Asabri


“Saya harus bicara,” guman Subarda gundah.
“Ini sudah melampaui batas. Saya harus melawan,” bathinnya lagi.
Emosi mantan jenderal purnawirawan bintang dua itu memuncak sampai ke ubun-ubun. Aliran darah naik dengan kencang ke kepalanya yang sudah pening bolak balik membaca majalah Gatra.
 Laporan utama Gatra, edisi 16 Agustus 2006, itu, mengungkit kembali kasus Asabri dan nama Subarda disebut-sebut akan diperiksa Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI bersama pengusaha Henry Leo, tersangka utama penyelewengan dana pensiun prajurit TNI/Polri sebesar Rp410 miliar.
Subarda terlihat geram. Raut mukanya yang putih bersih berubah merah. Tangannya gemetar membuka halaman demi halaman Gatra yang terbit dengan cover story “Dua Supandji Satu Perkara”. Sampul majalah memuat gambar Mayjen Hendardji Supandji (Komandan Puspom TNI) dan Hendarman Supandji (Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Timtas Tipikor). Kakak beradik itu bergandeng tangan dan masing-masing membawa borgol. Seolah-olah siap memenjarakan tersangka kasus Asabri.
Diberitakan bagaimana dua Supandji sama-sama menyidik Asabri. Ini karena kasus dana Asabri melibatkan anggota keluarga besar TNI dan menyeret warga sipil. Dua Supandji akan berbagi tugas menyidik dugaan korupsi yang melibatkan dua lingkungan hukum. Hendarman yang juga menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus akan menyidik tersangka warga sipil. Sedangkan sang adik, Hendardji, menyelidiki keterlibatan unsur militer.
Meski Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Letjen Sjafrie Sjamsoedin tidak menyebut nama siapa yang bakal diperiksa Puspom, laporan majalah itu berulangkali menulis dua nama kunci: pengusaha Henry Leo dan mantan Dirut Asabri Mayjen (Purn) Subarda Midjaja!
Dugaan penyelewengan dana Asabri, begitu ditulis Gatra, bermula dari kerjasama investasi antara PT Asabri dan pengusaha Henry Leo, pada 1995. Ketika itu, jabatan Direktur Utama PT Asabri dipegang Subarda. Dalam fotocopi dokumen yang diperoleh Gatra disebutkan, Henry telah mengajak Subarda mengembangkan industri pertambangan batubara seluas 93.100 hektare di Kalimantan Timur.
Subarda, demikian ditulis wartawan Gatra Hendri Firzani dan Alexander Wibisono, juga menerima tawaran proyek gedung perkantoran Plaza Mutiara di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Ada pula proyek reklamasi pantai seluas 200 hektare di Ancol Barat, Jakarta Utara. Untuk membiayai investasi itu, Henry atas persetujuan Subarda mengajukan kredit Rp.254,9 miliar ke Bank BNI Cabang Kota, Jakarta Utara.
Darah Subarda makin mendidih membaca laporan yang tidak benar itu.
“Ini bullshit! Bohong besar,” katanya geram. Ia sama sekali tidak pernah memberikan persetujuan apapun terhadap investasi proyek, apalagi merestui pengajuan kredit Henry Leo kepada BNI. Sepengetahuannya, tidak ada kerjasama apapun dengan Henry Leo.
Subarda terkaget-kaget membaca laporan Gatra seterusnya. Disebutkan bahwa demi mendapatkan kredit itu, Henry menjaminkan sertifikat deposito milik PT Asabri di Bank BNI senilai Rp.275 miliar. Setelah dana kredit dari BNI sebesar Rp.254,9 miliar itu cair, Henry mentransfer sekitar Rp.30 miliar ke rekening Subarda. Fotokopi dokumen yang didapat Gatra menyebutkan, duit sebesar itu ditransfer ke rekening Subarda di beberapa bank. Antara lain di BankExim Cabang Cilangkap dan Citibank Cabang Sudirman, Jakarta.
Subarda menarik dan menghembuskan nafas besar. Dadanya sesak, bergejolak.
Astagfirullah alazim,” ia beberapa kali beristigfar, “kebohongan apa lagi yang dihujamkan kepada hambaMu ini, ya Tuhan?”. Sebagai orang beragama dan sangat mencintai prajurit, ia merasa tidak pernah sepeserpun memakan uang haram, apalagi uang prajurit.
Yang sangat mengherankan Subarda, ia tidak pernah ditemui atau diwawancarai wartawan Gatra sebelum laporan itu diterbitkan. Padahal, ia bisa menjelaskan duduk soal dan perkaranya secara terang jika saja diberi kesempatan klarifikasi. Laporan itu jelas sepihak. Tidak cover both sides. Majalah itu, atas nama tatakrama dan etika jurnalistik, menuliskan bahwa “Subarda sendiri tak dapat ditemui Gatra untuk konfirmasi. Dua rumahnya di Jalan Dalem Kaum 71 dan Jalan Kolektor 3, Bandung, kosong”.
  Subarda menelan ludah. Kalau saja wartawan Gatra mencarinya di Jakarta, menemui dirinya adalah perkara mudah.
“Saya tiap hari ada di kantor ini. Koq tidak ada wartawan yang datang ke kantor di gedung Menara Hijau atau ke rumah di Cibubur,” bathin Subarda. Ia sempat berfikiran negatif, jangan-jangan cerita versi pihaknya tidak diperlukan, karena ada agenda tersendiri dibalik pengungkapan berita itu.
Menilik data-data yang disebutkan Gatra dan narasumber beritanya, Subarda menduga dokumen dan bahan tulisan pastilah dipasok kalau tidak oleh orang dalam Departemen Pertahanan, tentu oleh Yul Henry Leo, isteri dari biang kerok kasus Asabri.
“Pasti saya dikerjai lagi,” begitu kesimpulan Subarda. Ia meradang. Kali ini, Subarda tidak akan diam. Ia akan melawan jika terus diobok-obok. Setelah patuh diminta tak bersuara selama lebih sembilan tahun, ia telah memutuskan untuk bicara. Mengatakan mana yang benar dan mana yang bathil.
Demi keluarga dan anak cucunya, Subarda bersumpah akan membongkar kasus ini secara terbuka dan blak-blakan. Dengan segala dokumen, data, informasi yang dimilikinya, ia akan membuktikan dirinya tidak bersalah. Ia akan melaporkan duduk perkara dan segala sesuatunya ke wakil-wakil rakyat di DPR, termasuk kepada Presiden.
“Saya ini sudah tua. Saya tidak ingin mati dengan cap koruptor,” demikian hati nurani Subarda berikrar.


Terbelit Henry Leo
Capek membaca Gatra, Subarda menyandarkan badan di kursi kerjanya. Kursi kulit itu mestinya empuk, namun pagi itu terasa sangat tidak nyaman. Subarda tampak gelisah duduk di sana.
Di belakang meja kerja terpajang potret diri Subarda ukuran besar dengan figura kayu warna emas. Tampak gagah berwibawa dengan rambut dan kumis yang terawat baik. Tersungging pula senyum di bibirnya. Kontras benar dengan sosok Subarda hari itu yang tegang dan lelah.
Pikirannya menerawang. Fragment-fragment perjalanan hidupnya berputar seperti rekaman video. Potongan-potongan kejadian, penggalan-penggalan peristiwa, muncul dan hilang. Silih berganti. Ia mengingat-ingat mengapa ia terjeblos perkara pelik yang membuat hidupnya selalu tidak tenang selama sepuluh tahun terakhir.
Mestinya, di masa pensiun, ia tinggal menikmati hidup dengan menekuni hobby dan mengabdi ke Partai Demokrat Jawa Barat yang ikut didirikannya tahun 2004. Mestinya, di hari tua, ia tinggal mengemong cucu sambil sesekali mengawasi perkembangan perusahaan-perusahaan yang dimilikinya.
Mestinya, di sisa hidupnya, ia tinggal menekuni ibadah, menyantuni yatim piatu, dan membantu pesantren-pesantren yang dikelolanya di berbagai daerah. Mestinya, ia tinggal pelesir sesekali ke luar negeri. Mestinya, ia bisa melalang buana sambil check up kesehatannya di negeri mana saja yang dia mau. Mestinya, mestinya….
Subarda menggaruk-garuk keningnya yang tidak gatal.
Perkenalannya dengan Henry Leo ternyata mengubah segala rencana dan impiannya. Sesudah pengusaha itu menggunakan deposito Rp410 miliar milik BPKPP/Asabri pada tahun 1997, yang di luar pengetahuannya, apalagi atas persetujuannya, hidup Subarda seolah terbelit dengan kasus Henry Leo. Setiap orang membicarakan kejahatan Henry Leo, mau tidak mau Subarda disebut-sebut juga. Faktanya memang Henry Leo menilap duit BPKPP/Asabri saat Subarda menjadi Dirutnya.
Henry Leo telah mengacaukan jalan hidup Subarda. Barangkali itulah garis tangan nasibnya. Karier militernya berjalan mulus. Dari Letnan Dua yang masih hijau selepas AMN tahun 1962, kurva kariernya terus naik dan menanjak menuju puncak, sampai akhirnya purnabakti dengan pangkat terakhir jenderal bintang dua. Sebagai mahkota karier militernya, Subarda menerima penghargaan tertinggi Bintang Kartika Eka Paksi Pratama.
Subarda justeru tersandung masalah setelah pensiun dari militer dan menjadi Dirut Asabri. Bukan karena kinerjanya yang buruk, sebab semasa kepemimpinannya perusahaan milik negara itu berkembang baik. Ia tersandung karena ulah Henry Leo.
Ia tidak menyesali perkenalannya dengan pengusaha itu. Yang ia sesali adalah sikap tindak, kejahatan Henry Leo, yang bukan saja merugikannya, tapi yang lebih jahat  lagi, merugikan negara. Merugikan para prajurit Indonesia yang setiap bulan gajinya --yang tidak seberapa-- dipotong untuk asuransi jiwa dan perumahan.
Subarda sendiri sebelumnya tidak pernah tahu siapa Henry Leo. Pepatah mengatakan, “Ada gula ada semut”. Saat Subarda masuk Asabri mulai tahun 1994, selalu saja ada orang yang ingin merongrong tanpa disadari. Sebagai Dirut, Subarda bertugas mengembangkan dana agar lebih besar untuk kesejahteraan prajurit. Yang namanya pengusaha, mereka pintar mencari celah-celah.
Pada tahun 1995, Subarda ditemui Temi, orang yang suka minta proyek saat ia menjadi pimpinan proyek pembangunan flat bintara dan tamtama di Bandung. Temi inilah yang memperkenalkannya dengan Henry Leo. Dia katakan Henry Leo bisa membantu mengembangkan dana prajurit yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Perumahan Prajurit.
Henry Leo mengaku punya relasi di bank pemerintah seperti BNI 46 yang bisa memberikan bunga sama dengan bank swasta. Saat itu, bunga bank swasta jauh lebih tinggi ketimbang bank plat merah. Aturan di Asabri waktu itu hanya memperbolehkan menanam dana di bank swasta sebesar 30%. Selebihnya harus disimpan di bank pemerintah. Jadi, tawaran itu tentu menarik. Sangat menguntungkan. Ini sejalan dengan tugas Subarda untuk mengembangkan dana supaya bisa membangun perumahan prajurit yang ditargetkan 10.000 unit per tahun.
Subarda masih ingat betul bahwa ia lalu bertukar pikiran dengan Kepala Bagian Keuangan Letkol (Laut) Sunarjo mengenai usulan Henry Leo itu karena dana yang mau didepositokan adalah dana BPKPP. Sunarjo adalah orang yang sehari-hari mengelola keuangan BPKPP/Asabri dan Sunarjo menjamin aman. Ia beralasan BNI 46 adalah bank pemerintah. Keamanan lebih terjamin lagi karena giro bilyet diserahkan dengan alamat BNI 46 dimana siapapun tidak dapat mencairkan bilyet tersebut tanpa ada persetujuan Dirut Asabri atau BNI 46 sendiri.
            Disamping itu, dalam surat pengantar penyerahan giro bilyet itu disebutkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Subarda waktu itu sempat mempertanyakan mengapa kerjasama deposito itu dimulai dengan Certificate Deposit (CD) berjangka waktu? Sunarjo menjelaskan itu supaya dapat nilai lebih berupa bunga bank yang sama dengan bunga bank swasta, yaitu sekitar 3 s/d 5 persen lebih besar. Dicoba lah cara ini. Bulan berikutnya, Sunarjo melaporkan cara ini berjalan lancar dan menguntungkan.
            Subarda senang. Dengan cara ini dana prajurit berkembang menjadi pundit-pundi Asabri yang beranak-pinak. Meski demikian, dalam lubuk hati yang paling dalam, Subarda merasa ada kekhawatiran mengenai CD ini. Subarda beberapa bulan selanjutnya kemudian meminta Sunarjo merubah CD itu menjadi Time Deposit (TD) agar sama dengan deposito ke bank  lain dengan bunga yang sama. Perubahan itu disanggupi BNI 46.
Deposito ke BNI pun dilanjutkan sampai pada suatu saat dimana Sunarjo melaporkan bahwa terjadi kemacetan bunga bank yang kemudian Henry Leo mengakui dana tersebut dipakai investasi di dalam dan luar negeri.
            Subarda seperti disambar petir dan panik. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana bisa Henry Leo menggunakan dana itu untuk investasi tanpa izin dan persetujuannya? Ini sebuah penyimpangan yang membahayakan dana Asabri. Bisa gawat akibatnya.
Subarda segera bertindak. Ia meminta jaminan dari Henry Leo dan melakukan berbagai upaya agar bisa menyelamatkan dana prajurit ini. Subarda jelas-jelas merasa tertipu, apalagi ketika Henry Leo mengajaknya ke notaris Esther di Imperium Kuningan.
Di depan notaris Subarda diminta menandatangani segala yang digunakan Henry Leo dan ia diminta menyetujui namanya tercantum di PT-PT pengusaha yang telah menipunya. Tentu saja Subarda menolak mentah-mentah. Ia tidak mau terperangkap lagi. Ia tidak mau ditipu dua kali dan jatuh di lubang yang sama seperti keledai.
***
Subarda menghela nafas. Ia masih terduduk di belakang meja kerjanya sendirian. Diseruputnya secangkir kopi yang sudah dingin. Terbatuk-batuk sejenak, pikirannya kembali dipenuhi persoalan pelik akibat ulah Henry Leo. 
Subarda merasa telah mengambil keputusan yang tepat untuk tidak menandatangani akte notaris Esther. Ia juga bersyukur namanya tidak satupun masuk dalam direksi atau komisaris perusahaan-perusahaan milik Henry Leo. Dari awal dia sadar bahwa upaya Henry mencantumkan namanya di perusahaannya adalah perangkap yang bakal lebih kuat menjerat dan membelenggunya di kemudian hari. Ia tahu persis, Henry Leo adalah jenis manusia yang licin dan licik. Ia harus waspada dan siaga.
            Selagi Subarda mengumpulkan data dan menghitung dana yang diselewengkan Henry Leo, ia dipanggil Menhankam Jenderal (Purn) Edi Sudrajat. Subarda dihadapkan dalam sidang di Dephankam. Rupanya Henry Leo langsung melapor ke Menhankam. Tanpa diberi kesempatan menyelesaikan masalah, Subarda diperintahkan menyerahkan agunan-agunan yang diberikan Henry Leo kepada Sekjen Dephankam Letjen (Purn) Sugeng Subroto.
            “Kau dipecat!”  ujar Edi Sudrajat yang segera memberhentikan Subarda secara tidak hormat.
Menhankam juga wanti-wanti melarang Subarda bicara kepada siapapun mengenai persoalan Asabri. “Saudara sebaiknya diam dan jangan macam-macam,” ancam Menhankam.
Subarda diperintahkan menandatangani surat kuasa kepada Sekjen Dephankam  Sugeng Subroto bahwa Asabri meminjamkan dana Rp410 miliar kepada perusahaan milik Henry Leo.
            Pada waktu itu belum sempat terpikirkan bahwa uang Rp.410 miliar itu aman di BNI 46, karena sampai sekarang belum pernah CD maupun TD dicairkan oleh Dirut Asabri.
Subarda juga diperintahkan oleh Kepala Biro Pengamanan (Karopam) Dephankam Brigjen M. Thamrin untuk menyerahkan aset dan seluruh rekening pribadi kecuali aset warisan orang tua. Disamping itu, dengan penuh rasa tanggung jawab semua aset hasil penyelamatan dana prajurit yang bisa dihimpun, Subarda serahkan kepada Thamrin dengan penjelasan bahwa apabila Henry Leo selesai mengembalikan dana Rp.410 miliar tersebut maka aset-aset ini menjadi milik Henry Leo. 
Esok hari, ketika Subarda datang ke kantor Asabri di kawasan Cililitan, Jakarta Timur, ia tidak diperbolehkan lagi menempati meja kerjanya. Di ruang kerja Subarda sudah ada Irjen Dephan Letjen TNI (Purn) Putu Suranta yang untuk sementara menjadi caretaker Dirut Asabri.
“Angkat semua barang-barangmu. Pindahkan dari ruangan ini. Kau bukan lagi Dirut Asabri,” tukas Suranta.
Sama sekali Subarda tidak dianggap lagi. Padahal, selama ini dia lah orang nomor satu di kantor itu. Subarda hanya bisa menelan ludah.
Subarda bingung kemana dia harus membawa barang-barang yang ada di ruangan kerjanya. Tidak ada petunjuk dimana untuk sementara dia harus berkantor. Untung ada staf yang setia membantunya dan mencarikan ruangan untuk menyimpan barang-barang itu. Oleh karena membantu Subarda, staf tersebut kemudian dimutasi bersama-sama dengan karyawan lain yang dianggap “orang Subarda”. Terjadi apa yang disebut sebagai “de-Subardaisasi” alias penyingkiran orang-orang yang dianggap dekat dengan Subarda.
 Kemudian dilakukan serah terima jabatan Dirut Asabri dan Kepala BPKPP tanpa kehadiran Subarda. “Saya tidak diundang,” kata mantan Dirut Asabri yang baru saja dipecat itu.
Brigjen TNI Lisno diangkat menjadi Dirut Asabri yang baru, sedangkan Kepala BPKPP dijabat oleh Brigjen TNI M. Thamrin (sebelumnya Karopam Dephankam).
 Bagaimana penyelesaian penggelapan dana prajurit oleh Henry Leo selanjutnya, Subarda tidak tahu apa-apa lagi dan tidak diikutsertakan sampai sekarang. Kasus Asabri ditangani sepenuhnya oleh Dephankam. Laporan majalah Gatra menyebutkan:
Sugeng Subroto selaku pejabat Dephan menuntut Henry Leo mengembalikan uang Asabri yang dijaminkan ke bank. Henry pun menandatangani perjanjian pengakuan utang sebesar Rp.410 miliar kepada Asabri.
Dalam surat perjanjian tertanggal 2 Desember 1997 antara Henry dan Sugeng Subroto disebutkan, ia mengakui menerima penempatan dana pensiun ABRI senilai Rp 410 miliar. Uang itu rencananya akan diinvestasikan di sejumlah proyek.
            Untuk itu, Asabri disebutkan memperoleh kompensasi berupa saham di PT Arah Mulia Adisarana milik Henry. Tak hanya itu, Henry Leo juga diwajibkan menyetor dana keuntungan tahap pertama sebesar Rp280 miliar. Yang kemudian ditambah dengan dana tahap kedua Rp130 miliar.
            Henry Leo diharuskan pula menyerahkan asset miliknya yang ada di Hong Kong dan Singapura kepada Asabri atau PT. Arah Mulia Adisarana. Surat perjanjian itu direvisi setahun kemudian. Mayor Jenderal M.Thamrin, selaku Kepala Badan Pengelola Kesejahteraan Perumahan Prajurit/PT.Asabri, meminta Henry Leo memperkuat komitmen mengembalikan dana Asabri.
            Untuk itu Henry kemudian menyerahkan selembar stand-by letter of credit (SBLC) yang diterbitkan Bank BNI senilai total Rp410 miliar. SBLC ini keluar setelah Henry menyerahkan tujuh unit apartemen, pesawat terbang, gedung perkantoran Mega Kuningan, tanah di Ciloto, Bogor, Bekasi dan Ciawi sebagai jaminan SBLC.
            Ternyata pihak Bank BNI menghapus jaminan yang diberikan Henry. Akibatnya, terjadi perubahan nilai SBLC. Langkah BNI ini sempat diprotes Irjen Dephan, Letjen Farid Zainuddin, yang juga Ketua Tim Pengamanan dan Penyelesaian Dana Prajurit TNI-Polri dan PNS Dephan. Ia menilai amandemen yang dilakukan BNI di luar kesepakatan sebelumnya. Persoalannya makin kisruh dan kompleks.”
            Demikian ditulis Gatra. Subarda makin mahfum jika penyelesaian kasus Asabri  tidak pernah selesai dan berlarut-larut sampai sekarang. Dalam pandangan Subarda, cara penyelesaiannya sudah salah kaprah dan tidak tepat dari awal, yaitu dengan membuat dana yang digelapkan Henry Leo dianggap sebagai pinjaman dari BPKPP/Asabri kepada perusahaan milik Henry Leo.
           Kemudian kepada Subarda, selaku Dirut Asabri, diberikan hukuman pemecatan. Yang bersangkutan tidak diizinkan bicara kepada umum. Lalu aset-aset yang diserahkan Henry Leo, ditambah aset-aset hasil penyelamatan dana prajurit oleh Dirut Asabri, dan aset pribadi Subarda, dikumpulkan di Dephankam seluruhnya. Siapapun tahu kalau mengurus uang itu tidak gampang. Pepatah Sunda mengatakan uang itu “tidak kongkorongok seperti ayam jantan”. Artinya, uang  itu bisa datang dan pergi tanpa meninggalkan bunyi.
            Jika waktu bisa diputar ulang, jika saja bisa dilakukan semacam flash back, demikian Subarda berfikir, mestinya ada tindakan atau cara penyelesaian yang lebih pas. Ia, sebagai Dirut, seharusnya diberi kesempatan untuk melakukan pengaduan kepada polisi bahwa Henry Leo beserta BNI telah menggelapkan dana tersebut sesuai pengakuan yang bersangkutan.
Pada waktu itu, seluruh aset Henry Leo masih utuh di dalam maupun di luar negeri. Bukti-bukti lain masih lengkap di BPKPP maupun BNI. Saksi kunci, Kepala Bagian Keuangan Sunarjo, walaupun sudah mulai sakit akibat stress masih hidup dan bisa dimintai keterangan. Kemudian BPKPP juga seharusnya dapat mencairkan deposito di BNI sejumlah Rp410 miliar beserta bunga yang tertunggak karena deposito itu belum pernah dicairkan kembali oleh Dirut Asabri. 
            Kekeliruan lain menurut Subarda adalah ditunjuknya M. Thamrin, selaku pimpinan BPKPP baru, untuk menyelesaikan masalah ini dimana yang bersangkutan juga diangkat sebagai Komisaris Utama pada perusahaan Henry Leo.
            Dari berbagai keterangan yang masuk dan didengar Subarda sebagai outsider, diketahui bahwa Henry Leo membuat persetujuan dalam rapat lengkap dengan M. Thamrin, Irjen Dephan Farid Zaenuddin serta jajaran BNI untuk membuat SBLC baru dimana Rp150 miliar tanpa syarat (unconditional) dan Rp260 miliar dengan syarat escrow account  (conditional). Penerbitan SBLC baru ini karena SBLC yang lama tidak benar dan Subarda sama sekali tidak dilibatkan dan tidak mengetahuinya.
Irjen Dephan Farid Zaenuddin menganggap SBLC yang telah terbit pada tahun 1998 itu tidak ada artinya dalam pengembalian dana BPKPP dari Henry Leo. Selanjutnya dengan tidak meneliti duduk persoalannya dan prasangka yang berlebihan, kembali Henry Leo bersama Subarda diadukan kepada polisi dengan tuduhan penggelapan dana BPKPP/Asabri.
            Henry Leo diperiksa hanya satu malam di Mabes Polri. Selanjutnya dibawa oleh Thamrin ke Dephankam. Ia ditempatkan di ruangan yang aman dan nyaman serta dilayani dengan baik. Hal sebaliknya berlaku terhadap Subarda.
Mantan Dirut Asabri itu tak seberuntung Henry Leo. Subarda merasa seperti dijebak. Tanggal 16 Agustus 1999, Ropam Dephankam menelpon Subarda. Ropam memintanya datang ke Direktorat Reserse Mabes Polri untuk “membantu” memberikan keterangan pada polisi disebabkan Henry Leo telah ditahan satu malam di Mabes Polri.
Dengan niat untuk membantu dan prasangka baik, Subarda pun datang dan melapor kepada Kepala Ditserse Mabes Polri Kolonel Polisi Makbul Padmanegara. Sebuah kejutan terjadi. Di situ Subarda langsung tanpa surat panggilan ditetapkan sebagai saksi dan seterusnya dijadikan tersangka.
Subarda ingat betul detik-detik saat dia datang ke Mabes Polri. Kolonel Polisi Makbul yang menerimanya kemudian meminta agar Subarda mencari makan dulu. Pemeriksaan akan lama, begitu Makbul memberi alasan. Waktu itu, ia diberi tahu statusnya sebagai saksi, sehingga dengan tenang Subarda mencari restoran. Kebetulan ada warung masakan Padang di sekitar Mabes Polri. Makanlah dia di sana.
Begitu kembali ke ruang pemeriksaan. Makbul sudah tidak ada. Yang ada di tempat adalah Mayor Tugino, seorang reserse polisi berbadan tinggi besar yang sangat tidak ramah.
“Bapak Subarda, anda adalah tersangka. Jangan macam-macam, jawab semua pertanyaan,” katanya mengancam. Mayor Tugino juga mendesak agar Subarda segera mencari pengacara.
Seumur-umur baru kali ini Subarda berhadapan dengan seorang mayor yang dengan seenaknya membentak-bentak purnawirawan jenderal berbintang dua. Tapi apa daya. Subarda pada posisi sangat lemah. Ia menuruti saja apa yang diinginkan Mayor Tugino. Semua pertanyaan pemeriksa dijawab dengan sebaik-baiknya berdasarkan pengetahuannya. Ia ingin pemeriksaan secepatnya selesai. Ia sadar betul jika keluarganya kalang kabut, was-was, sedih, dan harap-harap cemas menunggu perkembangan pemeriksaan.
Menurut keterangan Rudi dan Dicky, dua anak lelaki Subarda, keluarga menunggu pemeriksaan dengan tegang dan gundah di rumah. “Bapak baru pulang jam 2 malam dengan kondisi stress dan tegang,” kata Dicky, putera sulung Subarda.
“Saya kasihan sekali sama bapak, tampak letih dan tidak percaya,” sambung Rudi, si bungsu.
Sambil memeluk anak dan isterinya, Subarda berpesan kepada keluarga agar tetap tenang, tabah dan sabar. “Pokoknya, keluarga jangan takut. Saya tidak melakukan apa-apa. Saya tidak korupsi seperti yang dituduhkan,” kata Subarda berusaha tetap tegar di tengah badai.
Dicky yang tidak tahu menahu persoalannya mencoba bertanya kasus korupsi apa yang dituduhkan kepada ayahnya. Subarda, yang juga sama tidak mengertinya dengan anak-anaknya, mengatakan tadi polisi menuduhnya terkait dengan korupsi senilai Rp400 miliar.
“Wah, bener-bener tak kebayang uang sebanyak itu. Coba dikasih buat keluarga, satu miliar saja masing-masing anaknya sudah punya mobil. Tapi kami tidak pernah dimanjakan dan hidup biasa saja,” Rudi bercerita.
Anak-anak dari awal tidak percaya bahwa ayahnya menilap uang miliar-miliaran seperti itu. “Uang segitu banyak dikorupsi buat apa? Bayangkan, Rp400 miliar! Saya tak mengerti mau dipakai apa uang sebanyak itu, kalau memang bapak korupsi,” kata Dicky lagi.     
Dicky terus bertanya karena dia tidak yakin ayahnya dituduh korupsi. Kemudian Subarda menjelaskan sebisanya bahwa tuduhan polisi itu tidak benar.
“Ini tidak ada korupsinya. Bapak hanya memasukan uang ke bank, tapi tanpa sepengatahuan bapak, uang itu diselewengkan Henry Leo dan bapak harus bertanggung jawab,” kata Subarda.
“Terus uangnya sekarang ada dimana?” kejar Dicky.
“Di bank BNI sana. Bapak tidak terima uang itu. Tidak ada sepeserpun yang bapak ambil. Bapak tidak korupsi,” kata Subarda berusaha meyakinkan dan menenangkan anak-anaknya.
Subarda meminta mereka tenang, sabar dan terus berdoa. Subarda mengatakan dia bisa kumpulkan bukti-bukti yang bisa mendukung dirinya tidak bersalah.
            Subarda malam itu baru tahu bahwa pengaduan diajukan oleh Ropam Dephankam dan ditandatangani oleh stafnya, Kol Inf Hartono Kusnan, dengan tuduhan penggelapan dana Asabri. Ini sangat mengherankan Subarda. Mengapa tuduhan itu baru dilaporkan pada tahun 1999 atau dua tahun setelah kejadian?
Mengapa jumlah dana yang diambil oleh Henry Leo dan aset-aset yang diserahkan pengusaha itu tidak tercatat dengan baik? Pengawas intern pada saat itu adalah Irjen dan Sekjen Dephankam yang dijabat Putu Suranta dan Sugeng Subroto? Mengapa hanya mantan Dirut Asabri yang dilaporkan kepada polisi? Subarda bertanya-tanya. Ia jadi berfikir jelek bahwa kasus ini telah dipolitisir oleh sekelompok orang tertentu untuk mencari kambing hitam dan menjatuhkan nama baiknya.
Mestinya terbalik. Seharusnya mantan Dirut Asabri Subarda lah yang  mengadukan Henry Leo, karena uang Asabri ditilep oleh pengusaha itu. Dirut Asabri adalah korban dari kejahatan Henry Leo, tapi dengan laporan itu seolah-olah korban adalah pelaku. Ini gila dan tak masuk akal. Tapi itulah kejadiannya. Pemeriksaan berjalan panjang dan melelahkan.
Pemeriksa mengarahkan bahwa Subarda menggelapkan dana Asabri. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan banyak yang tidak dimengerti Subarda dan itu berlangsung berhari-hari. Malamnya baru Subarda diizinkan pulang.
Yang lebih menyakitkan hati Subarda selama pemeriksaan ternyata Dephankam menyebarluaskan di media massa bahwa Subarda adalah koruptor, jenderal bobrok, dan sebagainya dan sebagainya.
Padahal, dalam Ilmu Hukum itu ada asas praduga tidak bersalah. Seseorang tidak boleh divonis bersalah sebelum hakim memberikan keputusan yang tetap (inkracht). Kasihan anak isterinya. Pemberitaan media telah membuat keluarganya dicap sebagai keluarga koruptor. Sebuah aib yang tak tertanggungkan.

Tidak terbukti korupsi
Subarda masih termenung sendirian. Kejadian demi kejadian di masa lalu muncul di pikirannya seperti kaset video yang diputar kembali. Masa-masa setelah pemecatannya sebagai Dirut Asabri dan proses pemeriksaan dirinya di polisi merupakan masa terpahit. Nama baiknya hancur. Martabatnya dipertanyakan. Keluarganya ikut menanggung beban.
Namun ia sangat yakin tak bersalah, karena ia tidak memakan uang haram dan mengkhianati prajurit. Pada masa-masa terpojok dan tak berdaya seperti itu, Subarda hanya bisa berdoa. Gusti Allah SWT adalah pelindungnya. Suatu saat kebenaran akan terungkap dan menang. Itulah keyakinannya.
Setelah sekian lama diperiksa tanpa kesimpulan bahwa Subarda korupsi, Rahmawati, Sekretaris Kepala Bagian Keuangan Asabri Sunarjo, memberitahu bahwa dia memiliki dokumen yang mungkin diperlukan Subarda. Rahmawati menemukan lembaran-lembaran tanda terima dari Sunarjo yang ditandatangani Henry Leo dengan jumlah Rp410 miliar.
Tanda terima itu ditemukan, ketika Rahmawati membersihkan laci-laci meja kerja Sunarjo yang meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Itupun tidak sengaja, karena pejabat Kepala Bagian Keuangan yang baru akan segera bekerja.
Seluruh tanda terima itu difotokopi dan disampaikan kepada Subarda untuk disesuaikan dengan copy-copy surat pengantar dan giro bilyet yang disimpan Subarda sebagai barang bukti.
“Saya kasihan. Bapak Subarda tidak bersalah dan bundel tanda terima itu mudah-mudahan bisa membuktikan kalau bapak bersih. Saya yakin bapak bukanlah koruptor bobrok seperti yang dituduhkan,” begitu kata Rahmawati via telepon sambil menangis terisak-isak.
Ucapan Rahmawati itu tidak akan pernah bisa dilupakan Subarda sampai mati sekalipun. Baginya, Rahmawati seolah-olah “guardian angel” yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkannya. Dokumen yang ditemukan dan diberikan Rahmawati lah yang bisa membebaskannya dari segala tuduhan. Dokumen itu membuktikan Subarda bersih. Bukan koruptor.
            Subarda dengan bukti-bukti tertulis tadi dihentikan penyelidikannya. Polri tidak pernah menghubunginya lagi. Pada bulan Juli 2004 tiba-tiba Subarda didatangi Polwan dari Mabes Polri yang membawa Surat Keputusan Penghentian Penyidikan (SKPP) karena tidak cukup bukti. Ketika menyerahkan SKPP itu, si Polwan mengatakan, “kalau ada apa-apa lagi mengenai masalah Henry Leo, perlihatkan saja ini”.
             Sejak itu tidak ada lagi berita tentang masalah Henry Leo. Baru pada waktu Subarda akan maju sebagai kandidat Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Barat pada Musda bulan Juni 2006, pemberitaan kasus Henry Leo muncul lagi. Sebelum Musda, Subarda menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Daerah (MPD) Partai Demokrat Jawa Barat. Untuk kesekian kali nama Subarda muncul di koran dan majalah dengan muatan negatif.
            Pada saat yang sama, bulan Juni 2006 juga, Subarda mendapat panggilan dari Sekjen Dephan Sjafrie Sjamsoedin yang meminta penjelasan masalah Henry Leo. Tidak lama kemudian ada surat permintaan bantuan penyelesaian aset-aset Henry Leo yang ditandatangani Sjafrie. Anehnya, dalam surat itu ada tulisan “apabila sampai akhir Juli 2006 tidak selesai, maka akan diselesaikan melalui jalur hukum”.
            Subarda lalu menemui Tumiyo, pejabat Dephan yang mengurusi kasus Henry Leo. Tumiyo mengatakan Yuli Henry Leo datang dengan dua pengacaranya. Yuli mengatakan suaminya berniat pasang badan dan oleh karena itu Subarda harus bertanggungjawab menyelesaikan sisa hutangnya dengan menyerahkan seluruh asetnya.
            Belakangan, kepada wartawan Gatra, Tumiyo menerangkan bahwa Subarda bekerjasama investasi dengan Henry Leo dan Subarda dikatakan akan bertanggungjawab. Inilah yang tidak dimengerti oleh Subarda.
Dengan penerbitan SKPP itu berarti polisi telah menyatakan Subarda bersih dan clear. Tapi koq kini kasus yang sama muncul lagi seperti dilaporkan majalah Gatra. Subarda tak habis fikir. Ini ada apa lagi, tanyanya dalam hati.
Kasus itu sudah berlalu hampir sembilan tahun dan ia sudah dinyatakan tak bersalah oleh polisi. Ia pun pernah membuat surat kepada Menteri Pertahanan untuk memohon agar nama baiknya dipulihkan. Kini, di bulan Agustus 2006, ia diberitakan lagi sebagai koruptor.  
            Subarda kini sudah 67 tahun. Meskipun kesehatannya tetap baik, orang Sunda bilang, umur sebegitu itu sudah usia maghrib. Sudah bau tanah. Subarda sangat khawatir: jangan-jangan besok lusa mati, nama baiknya masih jelek.
            Darah kembali berdesir keras ke otak Subarda. Marah dan geram campur aduk. Setelah sekian tahun tidak mau bicara, kini saatnya dia bicara. Kalau dia bicara, mungkin akan ada korban-korban lain. Ia tidak ingin ada orang lain yang masuk penjara karena dia buka mulut. Tapi Subarda tidak ingin terus jadi lilin yang membakar diri untuk menerangi orang lain.  

Somasi Gatra
Beberapa hari kemudian, Subarda mengumpulkan sejumlah staf dan Dicky Subarda, putera sulungnya. Ia panggil juga Anindyo Darmanto SH, penasehat hukumnya, untuk rapat khusus di kantornya lantai 9, gedung Menara Hijau, Cawang, Jakarta Timur.
Selain merencanakan somasi dan permintaan hak jawab terhadap majalah Gatra yang dianggap telah melakukan fitnah dan hasutan, Subarda juga ingin konsolidasi untuk membuat laporan ke Menteri Pertahanan, Komisi I DPR yang membidangi masalah politik dan militer, Komisi III DPR yang membawahi masalah hukum, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah menjadi dosen sewaktu Subarda menjabat Wadan Seskoad di Bandung.
Tentu saja pertemuan itu juga berguna untuk mempersiapkan diri jika Puspom atau Kejaksaan meminta keterangan darinya.
Subarda menginformasikan bahwa pihaknya menerima surat panggilan untuk menghadap pemeriksa di Puspom TNI pada bulan Agustus 2006. Seorang utusan Puspom berpangkat Kapten mendatangi rumahnya di Cibubur dan memaksa untuk bertemu dengan Subarda. Isteri Subarda terkejut setengah mati. Apalagi setelah tahu si Kapten akan menyampaikan surat panggilan pemeriksaan dari Puspom TNI. Mimpi buruk tujuh tahun lalu terulang kembali.
Anindyo, pengacara muda yang tangkas, mengusulkan agar Subarda tidak menggubris panggilan Puspom TNI, karena salah alamat. Otoritas Puspom adalah untuk anggota TNI, sedangkan Subarda ketika menjabat Dirut Asabri sudah pensiun.
“Bapak adalah sipil dan hanya tunduk pada pengadilan sipil. Puspom tidak berwenang memeriksa bapak,” tegas penasehat hukum dari kantor pengacara Darmawaluya Law Office itu.
Namun, Subarda memutuskan untuk memenuhi panggilan Puspom. Ini kesempatan untuk menjelaskan duduk perkaranya sekaligus membantu Departemen Pertahanan untuk menuntaskan kasus ini selamanya.
“Kalau bersih mengapa risih,” katanya mengutip iklan kampanye Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia juga menegaskan bahwa kesediaan memenuhi panggilan Puspom harus dianggap sebagai itikad baiknya untuk membantu mengungkapkan kasus ini.  
“Jangankan datang ke Puspom, ke ujung dunia pun akan saya datangi agar kasus ini tuntas,” katanya lagi.
            Namun, Subarda tidak ingin dijadikan kambing hitam. Actor intellectual dari kejahatan ini adalah Henry Leo. Dialah yang harus bertanggungjawab. Puspom TNI harus memeriksa Henry Leo juga.
            Kepada pengacara dan stafnya, Subarda meminta agar dipersiapkan segala dokumen untuk dibawa dan diserahkan kepada Puspom TNI.
            “Bismillah saja,” kata Subarda.
            Dokumen itu juga diminta satu bundel untuk majalah Gatra. Subarda bermaksud mendatangi kantor majalah Gatra di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, untuk memberikan hak jawab, termasuk juga kemungkinan untuk melakukan somasi dan gugatan hukum. Laporan Gatra dinilai fitnah, sepihak, banyak informasi tidak benar, dan perlu diluruskan.
            Dalam rapat itu, Subarda menjelaskan beberapa poin yang perlu diketahui redaksi dan wartawan majalah Gatra. Yang pertama kali harus dibuat jelas adalah modus operasi kejahatan Henry Leo. Dari awal, tawaran Henry Leo adalah mengembangbiakkan uang Asabri melalui deposito pada sejumlah bank. Bukan untuk investasi, proyek properti, kontruksi dan usaha lain.
Depostito berjangka adalah investasi yang terjamin keamanannya. Sesuai dengan Pedoman Penyelenggaraan Investasi Dana PT Asabri (Skep Dirut PT Asabri No.53-AS/D/1995), tujuannya adalah bagaimana kegiatan investasi dana Asabri berlangsung aman, tertib dan menghasilkan nilai tambah pada pendapatan perusahaan. Untuk itu, investasi dana Asabri hanya dapat ditempatkan dalam bentuk yang betul-betul aman dan menguntungkan, seperti pada deposito berjangka.
Itupun, menurut Subarda, dengan pembatasan-pembatasan yang ketat. Misalnya saja, nilai nominal deposto berjangka sekurang-kurangnya 56 persen dari jumlah keseluruhan investasi tahun berjalan. Penempatan nominalnya dibatasi 70 persen di bank pemerintah dan 30 persen di bank swasta.
Untuk deposito biasa dengan bunga lebih tinggi seperti yang ditawarkan Henry Leo itu, Subarda menandatangani surat pengantar dan surat pengajuan bilyet giro deposito. Dirut Asabri tidak tahu kalau Henry Leo hanya mengembalikan tanda terima Bank BNI yang menyatakan adanya deposito yang disetor. Tanda terima itu langsung  diserahkan ke Kepala Bagian Keuangan Sunarjo. Seharusnya, Henry juga menyerahkan sertifikat bilyet deposito ke bagian keuangan. Disinilah kealpaan Sunarjo yang tidak meminta sertifikat bilyet deposito itu.
“Justru dari sinilah kejahatan Henry Leo itu  bermula dan bisa terjadi. Nah,  bilyet deposito yang ada di tangan Henry Leo itulah yang  kemudian dijadikan jaminan kredit di Bank BNI 46 senilai Rp255 miliar pada tahun 1996,” kata Subarda menjelaskan kepada peserta rapat.
            Belakangan, deposito itu diambil BNI karena Henry Leo gagal bayar. Ini sama sekali tanpa pengetahuan Subarda.
“Sebagai Dirut, saya hanya mengecek ke Sunarjo, bagaimana? Dijawab, duit sudah masuk pak. Lancar pembayaran bunganya,” cerita Subarda.
 Rupanya di belakang hari Subarda baru tahu sebagian uang pokok deposito itu dibayarkan untuk bunga dan sebagian diberikan lagi kepada orang BNI, mungkin juga kepada Sunarjo dan sebagainya dan sebagainya.
            Sunarjo sendiri sudah meninggal dunia karena stress tahun 1998 atau satu tahun setelah terbongkar kejahatannya. Subarda menyimpulkan bahwa yang bermain itu Henry Leo dan orang BNI serta almarhum Sunarjo. Tapi Subarda tidak tahu siapa orang di BNI yang main mata dengan Henry Leo. Sebagai Dirut, Subarda tidak pernah berhubungan langsung dengan bank.
            Yang juga ingin diluruskan Subarda adalah fakta bahwa tidak ada kerjasama investasi dengan Henry Leo seperti disebut-sebut dalam laporan Gatra.
             Berita di media, khususnya di majalah Gatra, yang bersumber dari Yuli, isteri Henry Leo, merupakan informasi yang diputarbalikan. Sejumlah kerjasama investasi Subarda bersama Henry Leo di proyek ini dan itu yang disebutkan Yuli adalah tidak benar.
“Itu bohong besar.  Saya punya data-data lengkap, dan data-data itu menyebutkan bukan begitu,” jelas Subarda.
            Jadi yang dikatakan Henry Leo ada investasi dengannya adalah bullshit, kebohongan publik. Yang sebenarnya terjadi adalah Asabri melakukan deposito. Subarda sudah diperiksa dua bulan di Mabes Polri mengenai kasus ini dan sudah mendapat SKPP tahun 2004 karena memang tidak cukup bukti.
            Subarda mengaku lurus-lurus saja. Tidak benar kalau dia menjaminkan deposito Asabri yang menurut Yuli di Gatra sebesar Rp275 miliar untuk berbagai proyek Henry Leo. Silahkan diperiksa keabsahannya kalau memang ada dokumen yang menyebutkan Subarda menjaminkan deposito untuk proyek Henry Leo. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada rencana Asabri menyertakan modal saham 50%-50% untuk membeli Plaza Mutiara.
“Saya mendengar rencana investasi yang di Plaza Mutiara dan lain-lain itu hanya dari cerita dia. Dia memang banyak proyek dan dia berusaha menghubung-hubungkan dengan orang lain. Dia itu membohong supaya terkesan pengusaha bonafid dan supaya kita tetap menyimpan deposito,” kata Subarda.
            Faktanya adalah tidak satupun Subarda pernah tercatat sebagai komisaris atau direksi dari perusahaan-perusahaan yang disebutkan Henry Leo. Jadi, tidak ada kaitan Subarda pribadi di perusahaan dan proyek-proyeknya Henry Leo seperti reklamasi kawasan Ancol, pembelian Plaza Mutiara dan pembangunan perumahan prajurit di Ciawi.
            Kepada peserta rapat, Subarda mengatakan Henry Leo itu licin dan selalu berusaha melibatkan orang-orang penting dalam proyeknya agar dia aman.
“Saya ditawari jadi komisaris dan direksi di perusahaannya. Tapi saya tidak mau. Karena itu tidak pernah ada nama saya di akte-akte perusahaan Henry Leo,” katanya.
Poin lain yang juga ingin diklarifikasi kepada Gatra adalah informasi seolah-olah ada transfer dana dari Henry Leo ke rekening pribadi Subarda yang jumlahnya sampai Rp.30 miliar.
“Tidak ada aliran dana puluhan miliar ke rekening pribadi saya,” sumpahnya.
            Subarda mengatakan kehebatan Henry itu di antaranya dalam hal karang mengarang dan palsu memalsu.
            Henry Leo itu pintar memalsukan surat. Subarda bisa membuktikan hal itu. Salah satu yang fatal dari dia adalah pada dokumen seolah-olah Subarda membatalkan penempatan deposito.
“Padahal tandatangan saya dipalsukan,” katanya sambil menunjukkan dokumen dan tandatangannya yang dipalsukan.
Lalu Subarda menjelaskan soal dana Rp.30 miliar itu. Ceritanya Henry Leo punya hutang bunga. Subarda berusaha mengamankan dana Asabri setelah Henry Leo mengaku  uang itu dipakai investasi di luar negeri. Ada pernyataan Henry Leo tanggal 7 Januari 1999 yang menjelaskan kemana dana pensiun Asabri telah diinvestasikan di dalam dan luar negeri.
Kabag Keuangan Asabri Sunarjo suatu ketika melapor bahwa ada yang macet Rp30 miliar lebih (tepatnya Rp32.663.842.608). Lalu Subarda bergerak cepat dengan memanggil Henry Leo pada bulan Oktober 1997. Ketika itu Henry Leo mengaku bahwa bunga deposito bank BNI sebesar Rp32 miliar dan baru dibayar sebesar Rp2 miliar, jadi kurang Rp30 miliar. Ada surat pernyataan dari Henry Leo soal ini yang masih dipegang Subarda sebagai bukti.
“Jadi ini yang diramaikan dia sebagai telah disetorkan kepada saya sebesar Rp.30 miliar. Ingat, uang itu masuk ke rekenang saya sebagai Dirut Asabri, bukan rekening pribadi saya,” kata Subarda yang berani sumpah pocong sekalipun untuk membuktikan penjelasannya itu.
Aliran dana itu, bisa jadi benar. Tapi itu adalah bagian dari upaya menyelamatkan uang prajurit yang ditilep Henry Leo. Penyelamatan dana prajurit Rp30 miliar dan agunan-agunan lain itu telah diserahkan kepada Dephankam. Jadi uang Rp30 miliar itu, menurut Subarda, tidak hilang.
“Uang itu masuk rekening saya sebagai Dirut Asabri, bukan rekening saya pribadi. Itu bagian dari upaya penyelamatan dana prajurit. Tidak ada sepeserpun yang saya makan. Saya tidak butuh dari uang si Henry Leo, saya banyak rejeki lain di tempat yang lain waktu itu, karena saya ini pengusaha,” jelasnya.
 Kepada redaksi majalah Gatra, Subarda ingin menjelaskan bahwa dia juga berusaha mengembalikan uang prajurit yang diembat Henry Leo itu dengan meminta dia membayar ini dan itu serta aset-aset lainnya.
“Saya sudah serahkan itu kepada Dephankam. Jumlahnya sampai Rp60,95 miliar,” kata Subarda seraya menambahkan ada dokumen penyerahan surat-surat aset dan sertifikat Henry Leo yang diserahkan kepada Dephankam melalui Mayjen Thamrin, Kepala Biro Pengamanan Dephankam.
Begitu juga daftar saham yang dimiliki Henry Leo di luar negeri, seperti di Hong Kong dan Singapura, sudah diserahkan Henry Leo ke Thamrin. Oleh karena bertanggungjawab atas kasus yang menimpa lembaga yang dipimpinnya saat itu, sejumlah aset pribadi milik Subarda juga telah diserahkan ke Dephankam sebagai jaminan aset penyelesaian kasus tersebut.
Dalam surat pernyataan yang dibuat 5 Februari 1997, Subarda menyerahkan 14 aset pribadi, termasuk deposito dan giro di Bank Yudha Bakti dan Bank Exim. Nilainya lebih dari Rp4 miliar.
“Itu bukan berarti saya mengaku bersalah, tapi sebagai bentuk tanggungjawab kepada prajurit. Saya ini sudah bangkotan hidup sebagai prajurit. Saya tidak akan mengkhianati prajurit,” ungkap Subarda.
            Dokumen yang dimiliki Subarda yang dibagikan kepada peserta rapat menyebutkan bahwa tidak aliran dana Rp30 miliar kepada Subarda secara pribadi. Ada memang aliran hutang bunga bank yang dia setorkan kembali ke Asabri. Ada bukti dokumen dari Sunarjo pada bulan Nopember 1997 mengenai laporan penerimaan bunga dari Henry Leo.
Di dokumen berupa Nota Dinas No.B/ND/KPR/XI/1997/KU itu dilaporkan ada penempatan pada BNI 1946 sebesar Rp400 miliar dan pada Bank Umum Nasional (BUN) sebesar Rp10 miliar. Bunga deposito dari tahun 1995 sampai 1997 sebanyak Rp84.349.164.841 sudah dilakukan pembayaran oleh Henry Leo. Perhitungan Asabri mestinya Rp.105.875.813.355.
            Menurut dokumen tersebut, yang seharusnya menjadi hutang Henry Leo (belum termasuk bunga berbunga) per Nopember 1997 adalah Rp431.526.648.514.

Hak jawab untuk Gatra
            Melalui perantaraan sejumlah pihak, akhirnya Subarda bisa melakukan kontak dengan redaksi majalah Gatra. Pada pertengahan Agustus 2006, Subarda dengan sejumlah staf berkunjung ke kantor Gatra di Jl. Kalibata Timur IV No.15, Jakarta. Subarda diterima oleh Redaktur Pelaksana Heddy Lugito dan Hendri Firzani, redaktur yang memimpin liputan khusus mengenai kasus Asabri.
Tadinya Subarda akan menyampaikan somasi, namun ketika pihak Gatra menyatakan bersedia memberikan hak jawab dan akan menulis versi Subarda pada penerbitan berikutnya, upaya hukum itu dibatalkan. Jadilah pertemuan itu merupakan ajang wawancara. Wartawan Gatra mengajukan berbagai pertanyaan dan Subarda dengan senang hati memberikan penjelasan. Di akhir pertemuan, Subarda menyerahkan satu map penuh dokumen untuk dijadikan bahan latar belakang oleh wartawan Gatra.
“Supaya menulis laporannya lebih akurat,” komentar Subarda. .
            Pada 30 Agustus 2006, Gatra menurunkan hasil pertemuan dan wawancara dengan Subarda sebagai laporan utama. Di sampul majalah itu tertulis: “Pengakuan Tokoh Kunci Kasus Dana Asabri”. Selain pengakuan Subarda, Gatra juga menulis pengakuan dari Yuli Henry Leo. 
            Wawancara Subarda diberi judul “Kelicinan Henry Leo Semata” selengkapnya dikutip sebagai berikut:
“Bergulirnya kasus dugaan penyelewengan dana pensiun prajurit TNI/Polri sebesar Rp 410 milyar ke Pusat Polisi Militer TNI-AD mengusik ketenangan Mayor Jenderal (purnawirawan) Subarda Midjaja. Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) itu mengaku waswas. "Keluarga saya jadi tak tenang," ujar Subarda.
            Maklum, ia bersama pengusaha Henry Leo sempat diperiksa Mabes Polri sebagai tersangka. Dengan alasan tak cukup bukti, kemudian polisi mengeluarkan surat penghentian penyidikan. Meski begitu, Subarda harus rela dilengserkan dari kursi Dirut Asabri. "Seolah-olah saya dituduh sebagai tersangka," kata alumnus Akademi Militer tahun 1962, rekan seangkatan mantan KSAD Jenderal R. Hartono, itu.
            Setelah Gatra memberitakan kasus dana pensiun prajurit TNI, Subarda bertandang ke kantor Gatra untuk melakukan klarifikasi. Penerima Bintang Eka Pratama TNI-AD ini menguraikan kronologi kasus yang pernah membelitnya. Petikannya:

Bagaimana awal mulanya Anda kenal Henry Leo?
Saya masuk mengelola Asabri pada 1994. Selalu saja ada orang yang ingin merongrong tanpa kita sadari. Selaku dirut, saya bertugas mengembangkan dana agar lebih besar untuk kesejahteraan prajurit. Pengembangan dana ini sendiri ada batas dan ketentuan yang diberikan oleh dewan komisaris.
            Tapi, yang namanya pengusaha, mereka pintar mencari celah. Pada 1995, saya ketemu dengan orang yang suka minta proyek. Waktu itu, saya masih di Bandung sebagai pimpinan proyek pembangunan kompleks bintara/tamtama TNI. Orang inilah yang memperkenalkan saya dengan Henry Leo. Dia katakan bisa mengembangkan dana pensiun prajurit yang dikelola BPKPP/Asabri.
            Henry mengaku punya relasi di bank pemerintah yang bisa memberikan bunga lebih besar dari bank swasta. Saat itu, bunga bank swasta jauh lebih tinggi ketimbang bank pelat merah. Kami dibatasi hanya boleh menanam dana di bank swasta sebesar 30%. Selebihnya harus disimpan di bank pemerintah. Jadi, tawaran itu tentu menarik.

Lalu, mengapa dana Asabri itu bisa masuk ke kantong Henry Leo?
Sebenarnya istilah Asabri ini salah. Itu berasal dari dana Badan Pengelola Keuangan Perumahan Prajurit (BPKPP) atau sekarang menjadi YKPP. Sementara dana Asabri itu buat dana asuransi prajurit, bukan perumahan atau pensiun. Dana asuransi itu berasal dari potongan 3,5% gaji prajurit. Sedangkan dana pensiun diambil dari potongan 4,5% dari gaji.
            Awalnya saya mengira tawaran Henry Leo bentuknya sama seperti deposito biasa. Jadi, saya menandatangani pengajuan deposito yang disertai bilyet giro deposito, yang juga dilampirkan dengan surat pengantar ­­­­­­yang saya tanda tangani. Semua itu saya tanda tangani, baru diserahkan kepada bagian keuangan, Letkol (Laut) Sunarjo. Harusnya Henry, setelah menyetorkan dana deposito tersebut, menyerahkan bilyet deposito kepada bagian keuangan.

Prakteknya bagaimana?
Ternyata Henry hanya menyerahkan surat tanda terima dari bank yang menyatakan adanya deposito tersebut. Sertifikat deposito itu kemudian oleh Henry Leo dicairkan di BNI tanpa sepengetahuan saya. Hal itu terjadi pada 1995 dan baru kami sadari dua tahun kemudian, karena adanya tunggakan bunga deposito oleh Bank BNI yang tidak masuk ke rekening PT Asabri. Padahal, sebelumnya pembayaran bunga deposito lancar-lancar saja.

Bagaimana dengan klaim adanya kerja sama investasi?
Semuanya nonsens. Tidak ada usaha bersama. Tidak ada investasi. Di perusahaan batu bara itu atas nama saya sendiri. Itu usaha saya bersama sejumlah teman se-lichting seangkatan saya di AMN 1962. Saya juga diajak terlibat dalam pembelian Plaza Mutiara, tapi saya tolak karena saya tahu itu dari uang hasil curian.

Bagaimana dengan PT Bharinto Ekatama, benarkah awalnya ditujukan untuk perbaikan kesejahteraan prajurit?
Perusahaan itu dibangun bersama teman se-lichting saya, lulusan AMN 62, dengan dana pribadi. Belakangan, Pak Hartono keluar karena sebagai KSAD dia tidak bisa ikut dalam perusahaan. Jadi, surat pernyataan Pak Hartono yang menyerahkan sahamnya itu palsu. Saat surat itu keluar, Pak Hartono sudah tidak punya saham. Pak Hartono tidak terlibat. Itu kelicinan Henry Leo semata.

Henry sendiri sebagai apa?
Dia punya saham sebesar 15%. Namun, karena dia tidak setor dana lagi, nilai sahamnya menurun dan tinggal 3%. Tapi, saat Dephan menyita sejumlah aset Henry, mereka juga meminta saham Henry di Bharinto. Mereka meminta sahamnya sebesar 15%, padahal aslinya cuma 3%. Karena ingin membantu penyelesaian kasus dana prajurit ini, saya serahkan saja sebesar 15% sebagaimana permintaan Dephan.

Anda dituding menerima aliran sejumlah uang ke rekening pribadi dari Henry Leo.
Demi Allah, saya tidak memperkaya diri sendiri. Saya tidak ingin mengkhianati prajurit.
            Itulah laporan utama Gatra.
Oleh karena sudah ramai di media, Subarda banyak dicari wartawan. Ada yang via telepon, ada juga yang langsung datang ke kantornya. Semua dilayani dengan baik, karena Subarda merasa peran media pada saat kriris ini sangat penting. Kalau media bisa membuat citranya buruk habis-habisan seperti pada saat diperiksa polisi tujuh tahun lalu, maka media pula yang sekarang ini bisa menjaga nama baiknya.
Dulu ia jadi korban pemberitaan pers karena dia diam dan tidak boleh bicara, maka kini dia harus bicara kepada pers supaya wartawan juga tahu duduk soal atau perkara yang sebenarnya. Bukan untuk mengangkat citranya, melainkan supaya wartawan bisa mendapat kebenaran yang mendekati maksimal. Paling tidak, liputan cover bothsides-lah. Tidak miring dan berat sebelah.
Sebagai contoh, Subarda melayani wawancara koran Tempo yang terkenal sekali kredibilitasnya. Beberapa hari kemudian, hasil wawancara itu terbit sebagai berikut:
            “Setelah lama berdiam diri, Subarda Midjaja akhirnya membeberkan cerita raibnya uang potongan prajurit untuk perumahan sebesar Rp 410 miliar itu. Ditemani kuasa hukumnya, Anindyo Darmanto, dia menjelaskan masalah yang lebih dikenal sebagai kasus Asabri itu pada Kamis lalu. Berikut ini petikannya.

Kabarnya Anda sudah diperiksa Polisi Militer?
Panggilan pertama itu pada 16 Agustus, kemarin lanjutan. Dari pagi sampai azan isya saya diplonco, disuruh nulis satu-satu (membuat jawaban secara tertulis). Jenderal disuruh-suruh, untung jenderalnya sudah jadi satpam, ha-ha-ha....

Apa saja yang ditanyakan?
Ya, biasa. Memeriksa bagaimana awal perkenalan dengan Henry Leo (HL). Saya kan jadi Direktur Utama Asabri pada 1994. Sebelumnya, saya di Bandung dan pernah jadi pimpinan proyek pembangunan kompleks bintara/tamtama TNI. Waktu itu ada orang yang suka minta proyek. Dan, pada 1995, dia datang lagi memperkenalkan si HL. Dia katakan bisa mengembangkan dana pensiun prajurit yang dikelola BPKPP/Asabri. Henry mengaku punya relasi di bank pemerintah yang bisa memberikan bunga lebih besar dari bank swasta.

Berapa dana yang digunakan HL?
Jadi, pada 1995, dia mencairkan sertifikat deposito di BNI tanpa setahu saya. Semula pembayaran bunga deposito lancar-lancar saja. Baru pada 1997, Sunarjo (kepala keuangan) lapor ada kemacetan.


Anda tidak lapor atasan?
Saya minta HL menyerahkan semua agunannya. Beberapa usaha yang wanprestasi, saya minta dia yang lunasi. Lalu dia mengajak saya ke notaris, seorang perempuan, di Kuningan dan meminta saya menandatangani seolah telah terjadi kontrak. Saya tolak.

Jadi investasi Henry itu tanpa izin Anda?
Tidak, yang disebut investasi itu bullshit semua.

Tapi kok BNI bisa menyetujui permintaan HL?
Demi Allah, saya tidak pernah tanda tangani apa pun agar giro bilyet bisa cair. Berarti ada sesuatu dengan BNI.

Yuli menyebut Anda menerima Rp 30 miliar dari HL?
Itu kita bisa buka-bukaan. Buktikan apakah transfer itu palsu atau asli. Rekening pribadi saya sudah diperiksa berkali-kali dan sudah saya serahkan ke Dephan (Departemen Pertahanan).

Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan juga menyatakan uang yang dipinjam HL atas kehendak Anda?
Nggak ada itu. Sjafrie (Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin) itu orang kemarin, dia tidak tahu.

Anda dianggap lalai karena membiarkan Sunarjo berhubungan dengan HL?
Kalau lalai, berarti semuanya. Kan ada pengawasan dari komisaris, Dephan, BPK. Lantas BNI itu bagaimana kok bisa beri si HL. Seharusnya kan ada izin dan tanda tangan saya. Ini belum pernah diungkap.

Anda tak menempuh jalur politik?
Saya tidak mau mengorbankan partai untuk kepentingan pribadi. Sampai sekarang saya sendirian. Teman-teman pun kalau ada pertemuan langsung buang muka.

Anda kan kenal baik dengan Susilo Bambang Yudhoyono?
Waktu di Seskoad, SBY jadi salah satu dosen, saya wakil komandan. Saya berangkatkan dia sekolah ke Amerika. Saya tidak berani kontak-kontak soal pribadi, apalagi sama Presiden. Tahu dirilah, urusan beliau kan banyak. Tapi, kalau kepepet dan dizalimi terus, ya, mungkin begitu.”


Melapor ke wakil rakyat
            Selain media, Subarda juga melaporkan segala sesuatunya ke wakil-wakil rakyat di DPR, khususnya Komisi I (politik militer) dan Komisi III (hukum) DPR RI. Subarda tahu persis posisinya. Dia bukan siapa-siapa lagi. Dia pensiunan. Rakyat biasa.
            Sebagai rakyat biasa, wakil-wakilnya di DPR lah yang bisa memberikan perlindungan. Paling tidak, DPR akan menampung aspirasi dan mendengarkan suaranya. Ia sangat mengharapkan, jika ada rapat kerja dengan pemerintah, baik itu Departemen Pertahanan, Mabes TNI ataupun Kejaksaan, maka wakil-wakil rakyat itu bisa menyuarakan aspirasinya. DPR adalah mitra kerja dan pengawas pemerintah. Kasus Asabri waktu itu juga sudah ramai dibicarakan di koridor dan ruang-ruang rapat gedung parlemen senayan.
            Komisi I DPR, misalnya, sejak bulan Juli 2006 menuntut Dephan untuk menyelesaikan pengemplang dana Asabri secara pidana. Namun, Ketua Yayasan Kesejahteraan Perumahan Prajurit (YKPP), Marsekal Muda Tumiyo, waktu itu menegaskan, masih memberi pilihan kepada pengusaha Henry Leo untuk mengembalikan sisa utangnya.
            ''Silakan pilih, bila sisa utang tak terbayar kami siap dengan cara pidana,'' kata Tumiyo kepada pers. Juli 2006 merupakan batas akhir bagi pengusaha Henry Leo untuk mengembalikan dana Asabri sebesar Rp 410 miliar yang dipinjamnya untuk investasi. Hingga kini masih ada sisa utang sebesar Rp 225 miliar yang akan dibayarkan dengan aset tanah seluas 2.080 hektare.
Dalam rapat kerja dengan Menteri Pertahanan, 10 Juli 2006, Komisi I DPR menyesalkan Dephan yang cenderung ingin menyelesaikan masalah ini secara perdata dengan pengembalian utang Henry Leo.
Letjen (Purn) Andi Ghalib dari Fraksi PPP mengatakan dana yang dikelola Asabri adalah milik publik, yaitu prajurit TNI dan PNS di lingkungan Dephan dan TNI. ''Penyelewengan dana milik publik merupakan tindak pidana. Jadi, pengusutan kasus Asabri akan lebih bagus bila dilakukan secara pidana dan perdata.'' ujar mantan Jaksa Agung di masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie itu.
            Pengusutan secara pidana, menurut Andi Ghalib, sangat penting untuk memberi tekanan pada Henry Leo agar segera mengembalikan sisa utangnya. Tapi proses hukum pidana tetap berjalan untuk memberikan sangsi terhadap tindak penyelewengan tersebut.
            Sekjen Dephan, Letjen Sjafrie Sjamsoeddin, mengakui sudah menyiapkan laporan polisi untuk penyelesaian kasus ini secara hukum, namun itu tergantung tenggat waktu pengembalian uang. ''Bila sampai 1 Agustus belum dibayar, proses hukum akan berjalan,'' katanya.
            Menurut dokumen yang beredar di sejumlah wakil rakyat Komisi I DPR, antara lain Ade Daud Nasution dari Fraksi Partai Bintang Reformasi, persoalan dana Asabri yang diutang oknum bernama Henry Leo ternyata sudah lama ditangani Tim Departemen Pertahanan. Tapi kasus tersebut tidak pernah selesai. Bahkan kasus yang berindikasi pidana ini hanya diselesaikan melalui proses perdata.
            "Kasus Asabri seperti gunung salju. Kalau ini diusut maka akan sangat banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di sana," kata Ade Daud Nasution yang bicara kepada wartawan di ruang kerjanya. Untuk itu, ia dan sejumlah anggota Komisi I DPR akan mengusulkan pembentukan Panitia Kerja (Panja) Asabri.
"Kalau perlu ini akan kita usung untuk menggunakan hak penyelidikan (angket)," tegas politisi yang dikenal suka bicara vocal tanpa tedeng aling-aling itu.
            Terkait dengan hangatnya isu kasus Asabri di parlemen, Subarda pun bertemu dengan sejumlah wakil rakyat, bicara dengan mereka, menyerahkan dokumen-dokumen dan menjelaskan duduk perkara dari versinya. Yang pertama ditemuinya adalah tentu saja wakil rakyat dari Partai Demokrat, karena Subarda sendiri adalah fungsionaris dari partai yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
            Makan sianglah Subarda dengan Boy W Saul, anggota Komisi I dari Partai Demokrat. Yang membuat Subarda terkejut, ternyata Boy Saul sangat menguasai persoalan kasus Asabri lebih dari yang dia bayangkan. Boy mengaku telah memiliki dan mempelajari dokumen-dokumen kasus Asabri yang diperolehnya dari pihak lain. Dokumen yang sama dimiliki oleh koleganya di Komisi I, Ade Daud Nasution, yang beberapa waktu sebelumnya bicara lantang soal penanganan kasus Asabri dalam rapat dengar pendapat dengan Menteri Pertahanan Prof. Juwono Sudarsono.
Boy Saul mengatakan kasus Asabri secara sederhana bisa dibagi ke dalam dua tahap atau dua periode. Periode pertama adalah saat kasus itu terbongkar sampai pengambilalihan penanganan kasus itu oleh Departemen Pertahanan. Periode berikutnya adalah masa-masa penanganan kasus itu oleh macam-macam tim di Dephan.
“Periode pertama telah selesai. Subarda dipecat, aset-aset diserahkan, dan Henry Leo menandatangani pengakuan utang dan siap membayar,” katanya.
Sedangkan periode kedua, Boy Saul mengatakan penyelesaiannya tidak profesional dan berlarut-larut sehingga kasus ini tidak selesai-selesai sampai mendekati 10 tahun sampai sekarang.          
            Subarda membenarkan analisa wakil rakyat dari Sulawesi Utara itu. Ia mengatakan tidak tahu menahu lagi persoalannya setelah kasus itu ditangani oleh Dephan karena tidak dilibatkan.
            Pada tahun 2002 Subarda dipanggil oleh Irjen Dephan baru, Letjen Mar Suharto, dengan alasan diminta membantu menertibkan aset-aset yang diserahkan ke Dephan. Dengan itikad baik, Subarda membantu memindahkan aset-aset yang nama-namanya dalam sertifikat dipindah ke Dephan. Subarda berfikir dengan cara itu mungkin masalah tersebut dapat lebih cepat diselesaikan.
Pada waktu itu Henry Leo sudah menandatangani kesanggupan membayar sisa utangnya sekitar Rp260 miliar pada 1 Agustus 2002. Anehnya, tanggal 27 Juli 2002, tim yang menangani utang tersebut dibubarkan. Dengan demikian, pembubaran ini sangat merugikan prajurit dan menguntungkan Henry Leo. Pembubaran tim ini menjadi pertanyaan banyak orang pada waktu itu.
Kolonel (Purn) Tobing, salah satu anggota tim, membenarkan Henry Leo sudah membuat pernyataan yang intinya akan membayar yang Rp260 miliar lagi pada 1 Agustus 2002. Pernyataan itu dibuat pakai materai. Jadi, total Rp410 miliar, induknya, menurut Tobing, akan selesai per 1 Agustus 2002.  
Tahu-tahu minggu keempat Juli 2002, Tim ini dapat surat keputusan dari Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil untuk bubar. Dalam SK pembubaran itu juga diperintahkan agar besok tim menyerahkan semua apa yang sudah pernah didapat, baik itu uang maupun aset untuk diserahkan ke Ketua YKPP Mumu Muchtar di ruangan menteri.
 “Ya, kita serahkan semuanya. Bubarlah kita,” kata Tobing tidak menutup rasa kecewanya.
Kemasgulan Tobing dan anggota tim sangat beralasan. Mereka berharap suatu prestasi karena tugas sudah dekat terselesaikan. Bayangkan saja, semuanya sudah hampir di tangan. Ada surat pernyataan Henry Leo bahwa 1 Agustus  2002 akan bayar Rp260 miliar.
“Tim kami sudah mau mencapai garis finish, tau-tau ya dibubarkan. Ini kan ada semacam kejanggalan, keanehan,” kata Tobing.
Informasi lain menyebutkan, memang terjadi pencairan dari BNI sejumlah Rp 150 miliar dengan jaminan aset Henry Leo, sedangkan SBLC bersyarat sebesar Rp 260 miliar dengan jaminan yang dipegang Dephan berupa surat tanah ribuan hektare di Bogor dan Bekasi belum bisa cair sampai sekarang. Pencairan SLBC yang Rp 150 miliar tersebut sementara masuk ke rekening pribadi Suharto selaku Irjen Dephan di Bank Yudha Bhakti, baru empat bulan kemudian dipindahkan ke rekening YKPP.
            Sejak awal, kata Subarda yang dibenarkan oleh Boy Saul, apabila dilihat dari hasil tindakan dan kebijakannya, penyelesaian kasus Asabri periode kedua sangat tidak tegas dan tidak profesional. Subarda tidak berani menuding itu ada kolusi yang pekat di dalamnya.
Hanya saja, ada sejumlah keanehan dan kejanggalan. Henry Leo bebas dan dapat melakukan apa saja, bahkan mengaku belum pernah diperiksa siapapun. Dia dengan bangganya mengaku telah membayar melebihi hutangnya pada Dephan. Malahan pejabat terakhir yang ditugaskan untuk penyelesaian masalah ini, yaitu Marsda Tumiyo memberi peluang pada Yuli, isteri Henry Leo, untuk mengadukan ke Puspom dan Kejaksaan Agung dengan tuduhan dan bukti yang jauh dari kenyataan.
            Apabila tidak ada kolusi, mungkin saja ada maksud tertentu yang terselubung atau karena semata-mata tidak menguasai masalah. Henry Leo sendiri dalam mengajukan gugatan lewat istrinya, jelas salah perhitungan. Dikiranya sekarang Subarda sudah tidak punya saksi (karena sudah meninggal) dan bukti-bukti sudah hilang atau dihilangkan. Padahal, saksi dan bukti masih lengkap di beberapa tempat. Henry Leo tak akan bisa bebas dengan mengorbankan Subarda serta orang Dephan, Puspom dan Kejaksaan dikadali habis-habisan.
            “Kita lihat saja,” kata Subarda kepada Boy Saul. Apabila memang mau konfrontasi, Subarda akan melayani dengan menuntut balik serta ganti rugi. Tim pengacara siap mempraperadilankan siapa saja yang menganiaya Subarda mulai sembilan tahun lalu.
Namun, apabila mau menyelesaikan secara baik-baik dan serius, Subarda akan menerima dengan ikhlas, asalkan nama baiknya yang telah terkoyak serta terjadi pembunuhan karakter dapat dikembalikan. Harkat martabatnya yang selama ini terzalimi dan diinjak-injak bisa direhabilitasi dan dipulihkan.
Usai pertemuan dengan Subarda, Boy Saul dengan sejumlah anggota DPR lainnya angkat bicara. Seperti disiarkan sejumlah media nasional pada 3 dan 4 September 2006, kalangan DPR meminta Departemen Pertahanan dan Mabes TNI untuk lebih serius menuntaskan dugaan korupsi dana Asabri yang merugikan negara Rp.410 miliar.
"Pemerintah harus mampu membawa paksa pengusaha Henry Leo tersangka penggelapan dana Asabri ke Indonesia untuk memudahkan penuntasan kasus Asabri ke Indonesia untuk memudahkan penuntasan kasus Asabri," kata Wakil Ketua Komisi I DPR, Yusron Ihza.
Menurut Yusron, kasus Asabri telah berulangkali dibicarakan dalam rapat kerja  Komisi I DPR dengan Menteri Pertahanan maupan Panglima TNI agar segera dituntaskan. Namun, kata dia, penyelesaiannya berbelit-belit karena Henry Leo masih bebas berkeliaran di luar negeri.
Yusron mengusulkan agar polisi bisa bekerja sama dengan Interpol untuk mendatangkan Henry Leo ke Indonesia. Ia juga menyatakan rasa keheranannya karena penuntasan kasus Asabri sangat lambat.  
Menurut dia, meski sebagian kerugian Asabri telah dikembalikan melalui penyitaan maupun penyerahan aset-aset, tindakan hukum bagi siapa pun yang terbukti terlibat dalam penggelapan dana Asabri harus dilaksanakan. Pihak Bank BNI yang mencairkan deposito Asabri yang dijadikan agunan oleh Henry Leo juga harus diperiksa lebih intensif lagi.
Sedangkan Boy Saul mengatakan, kasus penggelapan dana Asabri akan tuntas jika semua mantan direksi Asabri, Bank BNI, dan Henry Leo, bisa diperiksa secara lengkap. Dia pun mengusulkan supaya Henry Leo didatangkan dan aset-asetnya disita.
Boy mengungkapkan, untuk mengetahui proses pengajuan deposito Asabri sebagai jaminan di Bank BNI, dan mengapa Bank BNI bisa mencairkan diposito Asabri yang jatuh tempo tanpa seizin Direksi Asabri itu perlu diaudit. Termasuk juga penanganan penyelesaian kasus itu oleh macam-macam tim di Dephan.
"Melalui audit itu akan diketahui aliran dana Asabri hendak dituntaskan, maka harus dilakukan pemeriksaan yang benar dan menyeluruh," ujar dia.  

Diperiksa Puspom
            Oleh karena pada batas akhir 1 Agustus 2006, Henry Leo tidak bisa membayar sisa utangnya sebesar Rp 225 miliar, maka Dephan mengadukan kasusnya kepada Puspom TNI. Maka penyidik-penyidik Puspom pun bergerak. Mereka melayangkan surat kepada Henry Leo dan Subarda untuk datang menjalani pemeriksaan di Puspom TNI.
Surat itu dibawa Kapten Pur Sugianto. Atasan memerintahkan agar surat harus  disampaikan langsung ke tangan Subarda. Perwira utusan Puspom TNI itu datang ke rumah Subarda di Cibubur, Jakarta Timur. Ketika Satpam rumah menanyakan keperluannya, Kapten Pur bersikeras ingin bertemu langsung dengan Subarda. Ia menerobos masuk ke ruang tengah.
Subarda sedang sarapan pagi. Tentu saja kaget. Koq ada tentara berseragam masuk rumah. Ternyata Kapten Pur membawa surat panggilan pemeriksaan di Puspom besok hari. Pihak keluarga menyesalkan mengapa pemeriksaan itu sangat mendadak dan surat disampaikan dengan cara seperti itu. Seolah-olah Subarda adalah buronan yang sulit dicari.
Tapi, Subarda berkomitmen untuk memberikan penjelasan.
Jika Subarda secara sukarela datang ke Puspom untuk memberikan kesaksian, Henry Leo beberapa kali mangkir. Hal ini karena Henry tidak berada di Indonesia, melainkan di Amerika Serikat. Sejumlah anggota DPR mendesak agar Henry Leo dipulangkan paksa dengan bantuan Interpol. Kapolri Jenderal Polisi Sutanto juga mengatakan bilamana diperlukan, Polri akan meminta bantuan Interpol untuk mendatangkan Henry Leo ke Indonesia.
            Dalam sebuah jumpa pers, Yuli Henry Leo menyatakan, suaminya bersedia pulang bila memang dipanggil untuk memberi kesaksian. Ia menjamin suaminya akan datang.
“Dia berada di Amerika trauma, karena selama 10 tahun kasus ini tak pernah jelas," kata Yuli.
Wanita ini juga mengaku khawatir suaminya akan ditangkap begitu menginjakkan kaki ke Indonesia untuk menutupi kasus tersebut. Namun, Komandan Pumpom TNI Hendardji Supandji berjanji memberikan jaminan keamanan penuh kepada Henry Leo jika tiba di Indonesia.
Didampingi pengacara Anindyo Darmanto, Subarda pada Agustus 2006 mendatangani Puspom TNI di kawasan Gambir, Jakarta. Ia diterima Letkol CPM Erling dan Letkol Bambang beserta dua petugas lainnya. Pemeriksaan pertama berjalan dengan kesan pemeriksa kurang mengetahui persoalannya. Mereka menanyakan dari awal lagi kasusnya. Kalaupun kelihatannya pemeriksa punya bukti, sebenarnya banyak bukti yang mereka tidak punya. Untuk membantu pemeriksa, Subarda menyerahkan bukti-bukti yang tidak ada sama mereka.
Meskipun Subarda sangat koperatif, terkesan para pemeriksanya itu sudah berprasangka. Sepertinya mereka sudah diberi target untuk membuktikan Subarda itu salah dan harus dihukum. Oleh karena Subarda sulit dijerat dengan tuduhan yang ada, para pemeriksa mencari celah-celah lain yang sering tidak ada kaitannya dengan substansi permasalahan. Itu terjadi dalam dua kali pemeriksaan berikutnya.
“Saya seperti diplonco. Saya bolak balik diperiksa seenaknya, bahkan mereka memeriksa ke arah yang tidak ada hubungan dengan inti kasusnya. Saya dianggap sebagai pesakitan, padahal saya datang untuk membantu,” cerita Subarda tentang proses pemeriksaan di Puspom.
Oleh karena “diplonco”, Subarda emoh diperiksa lagi. Subarda tidak mau datang untuk diperiksa lagi.
“Saya datang sukarela, kalian sebetulnya tidak berhak memeriksa saya. Saya ingin membantu dengan memberikan klarifikasi yang baik. Tapi malah dibalik, malah seolah-olah saya ini pesakitan. Saya menolak diperiksa lagi,” kata Subarda kepada pemeriksanya.
            Empat kali diperiksa dari pagi sampai malam, pada panggilan pemeriksaan yang kelima, Subarda memutuskan untuk tidak datang. Ia merasa keterangannya sudah cukup dan pemeriksaan tidak diperlukan lagi. Subarda lalu mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jaksa Agung Abdurahman Saleh untuk menjelaskan proses pemeriksaan dan tidak berwenangnya Puspom memeriksa dirinya yang sudah bukan anggota TNI lagi.
            Melalui Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi yang kebetulan bertetangga dengan Dicky, putera sulung Subarda, di kawasan Jatiwarna, diperoleh penjelasan bahwa Presiden Yudhoyono sudah menerima surat itu dan menyampaikan salam hangat untuk Subarda, mantan Wadan Seskoad yang pernah mengirim SBY sekolah ke Forth Leavenworth, Amerika Serikat.
            Di media, Puspom akhirnya memberi keterangan bahwa Subarda saat menjabat Dirut Asabri sudah pensiun dari tugas militer. Ini berlawanan dengan pernyataan Puspom sebelumnya yang menyebutkan bahwa di jabatan Dirut Asabri itu justeru Subarda naik pangkat. Kasusnya kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung atau Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).  Sampai saat ini proses pemeriksaan kasus Asabri tidak terdengar kabarnya lagi.
             Meskipun tidak pernah terbukti bersalah, pemeriksaan dan pemberitaan kasus Asabri telah membangun terciptanya kesan bahwa Subarda terlibat persekongkolan korupsi dengan pengusaha Henry Leo. Istilah yang tepat adalah telah terjadi pembunuhan karakter (character assassination) terhadap Subarda. Seolah-olah Subarda itu koruptor. Seolah-olah Subarda itu jenderal bobrok yang memakan duit prajurit.
            Dan itu berdampak luas pada kehidupan Subarda dan keluarga. Semua relasi, teman-teman dekat, ataupun rekan satu lichting AMN 1962, banyak yang termakan prasangka.
“Dari lirikan matanya, walupun tidak ngomong, seolah-olah saya koruptor kelas kakap, jenderal bobrok koruptor. Itu berpengaruh sekali. Sangat menyakitkan,” katanya  dengan muka muram.
Subarda memberi contoh, pada waktu perayaan HUT Asabri bulan Agustus 2006, ia duduk bersebelahan dengan mantan Dirut Asabri Lisno, yang dulu menggantikannya.
“Waktu itu, Lisno bilang ke saya, “Mas katanya banyak masalah, kok tetap saja awet muda”. Lha, apa tujuannya dia ngomong begitu?” cerita Subarda yang memang tetap sehat dan tampak lebih muda dari usia sebenarnya.
Ia bersyukur seolah-olah semua serangan kepadanya tidak berhasil. Subarda tetap saja ‘easy going’ seolah-olah tidak terpengaruh.
“Tetapi di lubuk hati yang paling dalam, saya ini remuk. Hati saya teramat sakit,” katanya sambil mengelus dada.
Terlebih lagi kepada keluarganya. Sebagai ayah, Subarda ingin menjadi suri tauladan moral bagi anak-anaknya. Sebagai suami, ia ingin menjadi idola dalam kebaikan dan kejujuran. Tersangkutnya dengan kasus korupsi Henry Leo, bisa menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan.
“Walaupun keluarga tidak ngomong itu, pasti pikirannya, apa benar saya tidak nyuri?” kata Subarda lirih.
Belum lagi cerita buruk yang dialami anak-anaknya. Mereka sering jadi ajang hinaan sebagai anak koruptor, padahal mereka tidak tahu apa-apa. Pernah ada polisi militer (CPM) menemui Rudi, anaknya. Sambil peletat pelotot, si CPM nyindir-nyindir. Katanya, itulah resiko jadi anak koruptor.
“Sakit hati kan?” Subarda bertanya.
Rudi, si bungsu, sambil menahan tangis menjelaskan pengalamannya dengan getir. Orang, katanya, cenderung untuk melihat sebelah mata dirinya. Mereka menganggap bahwa “oh, ini anak koruptor”.
“Apapun yang menjadi keberhasilan hasil usaha kami, itu dianggap hasil korupsi ayah kami. Karena ada stigma, hasil jerih payah kami tidak diperhitungkan orang. Kami sakit hati. Hasil banting tulang kami, bukan dianggap hasil kerja keras kami,” kata Rudi.
Sambil mengusap butiran air mata yang jatuh ke pipinya, Rudi mengatakan bahwa dia dan keluarganya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjelaskan bahwa sama sekali usahanya bukan dari hasil korupsi. Apalagi menjadi sarana pencucian uang.
 “Kami hanya mengelus dada. Sulit menjelaskan hal ini,” katanya menerawang dengan tatapan kosong.
 Memang Subarda tidak diasingkan oleh rekan-rekan satu Angkatan di AMN maupun Angkatan Darat pada umumnya. Kalau ada kegiatan Angkatan Darat selalu diundang, karena Subarda pemegang Bintang Kartika Eka Paksi Pratama.
“Saya tidak diasingkan, tapi dari pribadi perorangan dalam hati mungkin berfikiran lain. Teman-teman, lichting-lichting adik-adik di AMN, mungkin dalam hati, nah ini, garongnya…,” tutur Subarda yang merasa tergores luka hatinya setiap ada mata yang memandang dengan tatapan lain atau ketika ada wajah melengos saat melihat dirinya.
“Itu yang membuat hati saya remuk redam,” desah Subarda menelan ludah.
Ia tidak menyalahkan orang-orang yang termakan prasangka itu. Mereka rata-rata tidak mau melihat dan mendengar bukti. Kalau sudah ada prasangka, penjelasan apapun dari Subarda akan dianggap sebagai upaya membela diri.
Untuk itu, Subarda mengharapkan adanya perbaikan nama baik, rehabilitasi nama baik, dari institusi lain. Dari polisi sudah dia kantongi SKPP. Ternyata itu tidak cukup. Kini ia merindukan rehabilitasi nama baik dari Departemen Pertahanan, Puspom TNI, dan Kejaksaan Agung. Ia membutuhkan nama baiknya dipulihkan.
“Saya tidak mau mati dengan cap koruptor, karena saya bukan koruptor,” tegas Subarda dalam hatinya yang bergejolak.