Selasa, 02 Agustus 2011

Bab 4 : Bisnis Untuk Ibadah


            Sangat beralasan jika orang mengenal sosok Subarda sebagai jenderal pengusaha. Naluri bisnis Subarda sudah terbukti sepanjang karier militernya. Bahkan setelah pensiun, Subarda masih dipercaya menjadi Direktur Utama Asabri, sebuah perusahaan persero yang mengelola uang prajurit ratusan miliar rupiah. Kini, di masa tuanya, Subarda masih memimpin 12 perusahaan yang dikelola keluarganya, terutama anak-anaknya.
            Tiga anak Subarda –Dicky Muhammad Setiawan, Evy Talvini, dan Rudy Firnandi – meninggalkan pekerjaannya yang sudah mapan untuk memfokuskan diri dalam menjalankan bisnis keluarga. Dicky, si sulung, adalah dokter Angkatan Darat berpangkat Mayor yang bekerja di rumah-rumah sakit dan pernah diterjunkan dalam berbagai operasi militer sebagai tenaga medik, termasuk di Aceh. Evy bekerja di sebuah bank swasta dan Rudi, si bungsu, pegawai negeri di Departemen Keuangan.
            “Kami tinggalkan pekerjaan kami untuk membantu usaha Bapak,” kata Rudi.   
            Bisnis keluarga Subarda berkibar di bawah bendera Barnet Group, sebuah holding firm yang didirikan tahun 2001 setelah Subarda dilengserkan dari Dirut Asabri dan betul-betul punya waktu untuk mengurus usaha sendiri. Sebelumnya, bisnis keluarga Subarda terserak dan tidak sepenuhnya terurus. Ada berbagai macam usaha dari mulai pompa bensin, warung telekomunikasi, sampai angkutan barang (freight forwarder).
            “Setelah bapak punya banyak waktu, kami konsolidasikan usaha-usaha itu dengan membentuk kelompok perusahaan Barnet. Bapak menjadi Presiden Direktur dan kami, anak-anaknya, yang menjalankan perusahaan,” kata Rudi lagi.
            Yang sehari-hari menangani operasi dan manajemen internal Barnet Group adalah Dicky. Untuk kebijakan strategis dan keputusan penting masih dipegang oleh Subarda.
            Di bawah Barnet Group bernaung 12 perusahaan, antara lain usaha pertambangan pasir laut di Riau, pabrik kosmetik di Sukabumi, properti dan waterpark di Serang, tour and travel di Bandung dan Jakarta, serta restoran dan kafe di Puncak dan Cibubur. Karyawan tetap perusahaan di bawah Barnet Group ratusan jumlahnya. Belum dihitung tenaga kontrak dan honorer.
            “Barnet itu dalam bahasa Inggris artinya noble, mulia. Ini usaha yang mulia, bukan korupsi,” Subarda menjelaskan falsafah kelompok perusahaan yang bermarkas di lantai 9 gedung Menara Hijau, Cawang, Jakarta itu.
            Awalnya, Subarda sudah memiliki usaha-usaha kecil untuk memberikan pengalaman bisnis bagi anak-anaknya. Sebelum di Asabri pun, Subarda sudah jadi pengusaha yang berbisnis jual beli mobil atau tanah. Jiwa wirausaha sudah ditanamkan pada anak-anaknya. 
            “Justeru bapak kelihatan lebih kuat setelah tahun 1997. Setelah tidak lagi menjadi Dirut Asabri, bapak kelihatan semakin fokus di bisnis dan lebih banyak mengayomi kami, sehingga kami berusaha lebih serius dan profitable,” kata Rudi.
            Sekitar tahun 2000 keluarga Subarda membeli tanah di Serang. Tanah itu dibeli sedikit demi sedikit sampai sekarang mencapai 33 hektare. Baru dua tahun terakhir ini, areal tanah di pinggir jalan tol Jakarta-Merak dan dekat terminal Pakupatan, Serang, itu dikembangkan menjadi kompleks permukiman mandiri dan kawasan rekreasi air. Perusahaan properti milik keluarga Subarda di Serang itu adalah PT. Hestha Buwana Pratita. Di perusahaan itu, Subarda berkongsi dengan Riyanto Mangun, teman seangkatannya.
            Kompleks permukiman mandiri di lokasi strategis dan nantinya dilengkapi dengan rumah sakit, pusat perbelanjaan, lapangan golf dan gedung pertemuan itu dinamakan Bumi Mutiara Serang. Sedangkan kawasan rekreasi air non pantai yang merupakan satu-satunya di Serang itu dinamakan Mutiara Waterpark.
            Mutiara Waterpark baru saja berulang tahun pada 14 Maret 2007 dan mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat setempat. Wakil Gubernur Banten Masduki yang hadir pada perayaan itu menyampaikan penghargaan kepada Subarda yang ikut berperan dalam menciptakan kota Serang yang manusiawi dan bermartabat. Pusat rekreasi air dan permukiman mandiri yang sedang dibangun akan memberikan kontribusi bagi perkembangan dan perekonomian Banten ke depan.
            Sebagai pengusaha, Subarda mengundang warga yang belum memiliki rumah untuk datang ke kawasan Bumi Mutiara Serang. Di kompleks perumahan strategis itu Subarda membangun rumah-rumah dengan harga yang lebih terjangkau. Ia tahu persis di zaman sekarang mengumpulkan uang muka rumah sangat sulit. Oleh karena itu, untuk beberapa ratus rumah, Subarda membebaskan uang muka.
Jadi, bagi kelas menengah ke bawah seperti polisi, tentara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan buruh yang berkeinginan memiliki rumah pribadi sudah bisa memiliki rumah bagus.
“Dengan angsuran Rp400.000 per bulan bisa langsung memiliki rumah sendiri dan bagus,” katanya.
            Selain di Banten, PT Barnet Nuansa Alam yang mengelola pabrik kosmetik milik keluarga Subarda di Sukabumi, sedikit banyak juga membantu perekonomian Jawa Barat. Paling tidak, ratusan orang bisa bekerja di perusahaan yang memproduksi macam-macam consumer goods itu. Ada obat nyamuk merk Balurix, ada shampoo dan shower gel merk Delaven, ada pula pelindung cat mobil merk Fluxure.
            “Sebagian kita produksi untuk konsumen dalam negeri, sisanya kita ekspor,” ujar Subarda.
            PT Barnet Nuansa Alam juga menyelenggarakan pertambangan pasir laut di Pulau Galang, Riau. Kini perusahaan itu juga menjajagi bisnis di bidang batu apung dan batu mulia di Cilegon, Banten.
            Selain itu, keluarga Subarda juga memiliki biro perjalanan dan bimbingan umroh di Jakarta dan Bandung dengan bendera PT. Golden Sahara.
            “Kami seimbangkan bisnis dan ibadah,” kata Subarda mengenai falsafah usahanya.
            Falsafah itulah yang ia sosialisasikan kepada anak-anaknya. Rudi, misalnya, ingat betul petuah-petuah dari ayahnya.
“Bapak bilang, coba bikin usaha yang kamu mampu jangan yang kamu mau,” kata Rudi mengutip nasihat Subarda.
Rudi menjelaskan nasihat itu benar adanya.
“Sebab, kalau berbisnis yang kita mau dan kita tidak mampu, itu bunuh diri namanya,” katanya lagi.
Dengan demikian usaha-usaha yang dia geluti adalah usaha yang dia mampu dan dalam wilayah yang dikuasai. Oleh karena itu, Rudi yang berlatarbelakang pendidikan ilmu komputer dipercaya untuk memimpin usaha yang terkait dengan teknologi informasi seperti warnet dan IT solution. Sedangkan kakak perempuannya, Evy, mengelola café dan restoran yang sesuai betul dengan hobby-nya yang suka masak.
“Café saya di Taman Wiladatika Cibubur selalu ramai dan sering dijadikan tempat shooting sinetron atau film. Hampir tiap minggu ada saja yang ambil gambar,” kata Evy yang juga mengelola café sejenis di kawasan Puncak.

Jerih payah pribadi
            Subarda menjamin bahwa modal usaha bisnisnya adalah murni hasil jerih payah pribadi dan warisan keluarga. “Bapak punya simpanan banyak karena beliau warisannya banyak,” kata Rudi.
            Ia mengatakan kakeknya dulu tuan tanah yang mempunyai banyak kebun dan sawah. Tanah sang kakek tersebar di Bandung, Sukabumi dan sejumlah kota lainnya. Setelah wafat, ia meninggalkan warisan dan tiga anaknya mendapat bagian yang besar-besar.
“Tanah warisan itu dijual oleh bapak untuk modal usaha ini dan modal usaha itu. Jadi sebelum di Asabri pun, bapak bisa dikatakan cukup untuk memodali usaha kami,” kata Rudi.
Dengan demikian, seperti dipastikan Subarda, semua perusahaan dan bisnisnya tidak ada kaitannya dengan kasus korupsi yang dilakukan Henry Leo.
            Selain modal dari warisan keluarga tersebut, ada modal cukup besar yang berasal dari penjualan perusahaan pertambangan batubara PT. Bharinto Ekatama, dimana Subarda pada periode 1997 sampai 2002 menjadi pemegang saham dan Direktur Utamanya.
            PT. Bharinto Ekatama didirikan Subarda bersama teman-teman satu angkatan di AMN 1962. Hampir semua Angkatan 1962 memasuki pensiun tahun 1994. Ketika sejumlah pentolannya berkumpul, mereka punya gagasan untuk mengadakan bisnis batubara. Ada konsesi batubara yang bagus di Muara Teweh dan Tenaik, Kalimantan Tengah.
            Dibentuklah sebuah perusahaan dengan banyak pemegang saham. Yang pertama menjadi Dirut PT Bharinto adalah Sutjipto. Ketika itu, Jenderal Hartono, yang juga Angkatan AMN 1962, ingin bergabung menjadi pemegang saham. Oleh karena saat itu menjabat Kasad, maka Hartono sesuai aturan tidak bisa bergabung. Sehingga tidak ada saham Hartono di perusahaan batubara itu.
Pengusaha Henry Leo diakui ikut bergabung dengan menguasai saham 15 persen.  
            Untuk menjalankan eksplorasi batubara diperlukan biaya yang mahal. Pemegang saham terus diminta untuk menambah modal. Pada suatu saat, ada perusahaan Jepang yang berminat untuk menjadi investor. Kontrak ditandatangani. Perusahaan Jepang itu memberi uang muka sebesar USD1.000.000. Waktu itu, kurs dolar Rp15.000 sehingga nilai uang muka itu mencapai Rp.15 miliar.
Oleh karena tidak memenuhi janji menambah modal pada periode tertentu, maka perusahaan Jepang itu terkena penalti sehingga uang muka Rp15 miliar itu pun hangus.
“Wah, kami dapat rejeki nomplok. Uang penalti itu dibagi-bagikan kepada semua pemegang saham. Sebagian lagi dikembalikan untuk menjalankan usaha pertambangan itu sendiri,” kata Subarda.
Sebagai pemegang saham, Subarda mengakui mendapat durian runtuh dari penalti perusahaan Jepang itu. Artinya, dia mendapat dana segar untuk mengembangkan perusahaannya sendiri.
            Belakangan PT Bharinto diambil alih oleh perusahaan Thailand pada tahun 2004. Perusahaan yang bermarkas di Bangkok itu membeli PT Bharinto senilai USD12.000.000. PT Bharinto dijual karena eksplorasi batubara memerlukan modal besar. Padahal, waktu itu tidak ada lagi dana untuk menggaji pegawai dan operasional perusahaan.
Sebagai pemegang saham, Subarda mendapat bagian dana dari penjualan PT. Bharinto ke perusahaan Thailand. Uang itu kembali digunakan untuk menambah modal perusahaan keluarganya sendiri.
            “Dari uang yang terkumpul dari penjualan PT. Bharinto dan dana keluarga pribadi, saya mendirikan Barnet Group,” cerita Subarda.
            Henry Leo, sebagai salah satu pemegang saham, juga mendapat bagian. Mestinya saham pengusaha itu hanya tinggal 3% karena dia tidak menambah modal. Namun, para pemegang saham sepakat mengembalikan saham Henry Leo sebesar 15% sesuai dengan permintaan Dephan dan YKPP. Jumlah bagian Henry Leo sebesar Rp11 miliar diserahkan ke YKPP.
 Menurut Subarda, ide mendirikan Barnet Group itu didasari untuk memberikan kehidupan bagi orang banyak, antara lain supaya penganggur dapat kerja, saudara dan handai tolan dibantu, dan teman-teman bisa ditolong.
“Lebih jauh lagi, semuanya ini untuk ibadah,” kata Subarda.
Konsep bisnis untuk ibadah itu dibenarkan oleh Akmil Tanjung, karyawan di kantor pusat Barnet Group.
“Bapak selalu menekankan bahwa usaha kita bukan semata-mata mencari untung. Sebagian keuntungan harus disisihkan kepada kegiatan sosial dan sedekah,” katanya.
 Tidak heran bila Barnet Group menjadi penyandang dana bagi kegiatan-kegiatan kemanusian, membantu pesantren-pesantren, dan menyantuni anak-anak yatim.
Tohir, sopir perusahaan, menjadi saksi kemurah-hatian perusahaan ini. Ia mengaku sering membawa bantuan dan bingkisan perusahaan untuk orang-orang miskin.
“Saya sendiri sangat berterimakasih kepada Bapak Subarda. Saya terangkat menjadi manusia yang berharkat setelah bekerja di perusahaannya,” katanya.
 Tohir sebelumnya penarik becak di Bandung. Subarda mengangkatnya menjadi sopir. Dengan pekerjaannya sebagai sopir di Barnet Group, Tohir bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi. Ada yang lulusan ITB, ada yang lulusan IKIP Bandung, dan ada pula yang menjadi perwira polisi.
Subarda sendiri merasa apa yang diberikannya kepada para karyawan dan kaum dhuafa bukanlah hal yang istimewa. Itu merupakan tanggungjawabnya sebagai manusia untuk menolong. Ia sadar betul bahwa di dalam setiap hartanya, ada bagian dari orang yang meminta dan tidak meminta.
Setiap sen yang ia sedekahkan akan mendapatkan balasan setimpal. Itu merupakan tabungan akheratnya.
Dalam menjalankan usaha, konsepnya adalah bisnis untuk ibadah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar